Selasa, 31 Mei 2016

Duurstede Untold Stories #3



“Bebatuan Melingkar” itu bercerita
  Bagian III

J.J. Rizal sejarahwan asal Betawi, dalam acara Flashback di MetroTv yang ditayangkan pada 06 Maret 2016 dengan judul “Kanal Molenvliet, Riwayatmu dulu dan kini” berkata: 
“...Generasi pertama VOC yang datang ke Hindia Timur adalah para pengecut, “sang anak mama/mami (The moma’s boys)...
 Mereka datang dengan banyak kenangan tentang perang 80 tahun di negaranya, dan ingin “menghadirkan” semua kenangan tentang tempat kelahiran mereka itu dalam bentuk bangunan-bangunan di tanah jajahan yang baru (Indonesia). Dari bentuk bangunan (benteng), rumah, arsitektur penataan sebuah kota hingga penamaan semuanya didasari oleh kenangan emosional itu... kira-kira begitulah maksud dari J.J. Rizal tadi.

Het Fort Duurstede (Photo by : Ambonesia Foundation)


Pendapat J.J. Rizal sepertinya mendapat “validitas tambahan” lewat artikel ini. Kembali ke bagian pengantar dari artikel ini. Ada banyak pertanyaan menyangkut benteng Duurstede. Bagaimana “sejarah” pembangunannya, siapa-siapa saja “kontraktornya” dalam mega project ini, bagaimana sketsa gambarnya, siapa yang menggambar sketsa bangunan benteng itu dan seterusnya… semuanya seperti misteri. Yang ada pada kita hanyalah figur yang membangun dan tahun pembangunannya. Benteng ini didirikan oleh Gubernur Amboina Arnold/Arnout de Vlaming van Oudshoorn pada 1676 dan dilanjutkan oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schagen pada 1690/1691. Informasi ini bisa dibaca pada plakat yang ditempelkan pada dinding benteng sebelah kanan saat memasuki gerbang benteng. Plakat ini ditempelkan pada saat “perbaikan/pemugaran” yang dilakukan pada Juli 1977-Maret 1982 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Maluku. Namun, ada sedikit “masalah” dengan “data” pada plakat tersebut. Jika “bermasalah” dengan nama orang maka “bermasalah” juga tahunnya, jika “bermasalah” dengan tahunnya maka “bermasalah” juga nama orang yang menyertainya. Kedua anasir itu penting karena saling mendukung dan saling “merestui” satu dengan yang lain, apalagi ini menyangkut data historis. Karena itu, mari kita “kulik” secara perlahan, satu demi satu tentang “masalah” dan “keanehan” ini. 

Dalam seluruh arsip, data, buku, artikel yang dibaca, ditelusuri dan dipahami, Arnold/Arnout de Vlaming van Oudshoorn adalah Gubernur Amboina pada masa VOC. Ia memerintah dalam 2 periode secara berselang-seling bukan berturut-turut atau “sang incumbent” Gubernur Petahana dalam terminologi politik dewasa ini yang mencalonkan diri dan terpilih lagi untuk periode kedua. Pada periode pertama, ia memerintah sejak 1647-1651. Ia menggantikan gubernur sebelumnya, Gerard Demmer yang memerintah pada tahun 1642-1647. Ia kemudian digantikan oleh Willem Verbeek yang memerintah pada tahun 1651-1654. Ia menggantikan lagi Willem Verbeek untuk periode jabatan kedua sejak 1654-1656. Pola kepimpinan model seperti ini bukan hal baru atau hal aneh di masa itu. Banyak perjabat yang telah mengalaminya jauh sebelum van Oudshoorn. Contohnya. JP Coen menduduki kursi Gubernur Jenderal VOC dua kali, yaitu 1618-1623 dan 1627-1629 diselingi oleh Pieter de Carpentier pada 1623-1627. Atau Kepala Gudang (Opperhofden) VOC di Hirado (Jepang) yang dipegang oleh Jaqcues Speck, Jan van Elserack dan Pieter Anthoniszoon Overwater (keduanya di Deshima). Mereka bertiga pernah menjabat 2 kali secara berselang-seling. Jaqcues Speck menjabat pada 1609-1612, kemudian digantikan Hendrik Brouwer (1612-1614) dan menggantikan Hendrik Brouwer lagi (1614-1621). Begitu juga yang dialami Jan van Elserack, periode pertama (1641-1642) kemudian digantikan Pieter Antoniszoon Overwater (1642-1643) dan mengganti Overwater lagi (1643-1644) dan digantikan lagi oleh Overwater (1644-1645). Atau Gubernur VOC di Pantai Coromandel (India), yaitu Hans de Haze (1616-1616 dan 1619-1620) dan Andre Soury (1620-1622 dan 1624-1626), dan masih banyak contoh lainnya. Kebiasaan itu terjadi karena banyak faktor, bisa karena faktor koneksi (keluarga, teman), kemampuan, atau dibutuhkan lagi pengalamannya dalam menangani masalah yang terjadi di sebuah pos dagang. Itu juga yang dialami oleh Arnout/Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Ia diketahui lahir pada tahun 1603 tanpa diketahui tempat lahirnya. Jika dilihat tahun lahirnya, ia bisa di “golongkan” sebagai generasi kedua di bawah Pieter Both, JP Coen, Laurens Real, Pieter de Carpentier, Jaqcues Speck, Anthoni van Diemen, Hendrik Brouwer yang pernah menjadi Gubernur Jenderal VOC. Ia seangkatan dengan Cornelis van de Lijn, Carel Reynier, Joan Maetsuycker yang juga pernah menduduki jabatan Gubernur Jenderal VOC. Generasi pertama lahir pada paruh kedua tahun 1500an (1560an-1600), sedangkan angkatan kedua pada 1600an awal. Riwayat masa muda orang ini tak banyak diketahui, namun pada umumnya yang terjadi pada generasi pertama yang semuanya berasal dari pedagang, maka kemungkinan besar Arnold/Arnout juga seorang pedagang. Namanya “tiba-tiba” muncul sebagai Gubernur Pantai Barat Sumatera yang menjabat pada 1643-1644. Pada akhir masa jabatannya (1644), ia ditugaskan oleh Gubernur Jenderal VOC untuk menagih utang Sultana Kerajaan Atjeh yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin atau Putri Safiah yang memerintah 1641-1675. Ia ditugaskan karena utusan pertama gagal menagih utang pembelian permata. Ia tiba di Atjeh pada 13 Juli 1644, butuh 2 bulan lebih barulah ia berhasil menjalankan misi yang ditugaskan. Atas keberhasilan ini, ia ditugaskan mengisi pos dagang di Malaka. Ia memerintah dari 06 November 1645-24 November 1646 saat kepimpinan Gubernur Jenderal VOC Cornelis van de Lijn. Di sana ia mengganti gubernur sebelumnya Jeremias van Vliet (1642-1645). Dari pos di Malaka ia ditarik pulang oleh Gubernur Jenderal VOC Cornelis van de Lijn untuk menjadi Gubernur Amboina pada periode pertama (1647-1651). Masa 4 tahun kekuasaan pada periode pertama ini, tak banyak kita ketahui sepak terjangnya. Secara resmi, data-data yang tersedia tak banyak mendeskripsikan program kerjanya” pada periode ini. Walaupun begitu, ada beberapa sumber yang menyebut-nyebut namanya. Sumber-sumber ini berasal dari “legenda-legenda” terbentuknya negeri-negeri di pulau Saparua, pantai selatan Seram dan beberapa tempat lain. Legenda-legenda itupun seringkali “kacau” dalam penulisan nama, tahun, dan “campur aduk” antara urutan waktu atau secara kronologis pembabakan sejarah. Semuanya ini diakibatkan karena berasal dari tuturan atau tradisi oral, bukan karena penulisan yang ketat. Maka untuk merekonstruksinya, kita harus membandingkan dengan catatan resmi untuk mengira-ngira, bukan sebaliknya catatan resmi harus mengikuti tradisi oral.

Salah satu contoh kasus yang bisa kita kupas adalah, catatan tentang perang kerajaan Iha (Amaihal) di pulau Saparua. Catatan ini disusun oleh Stenly Loupatty, S.Pd yang bersumber dari tuturan (wawancara) yang dikombinasikan dengan kepustakaan, meski begitu tetap saja meninggalkan “lubang-lubang”. Dalam beberapa alinea, tertulis nama orang yang tak sesuai dengan sebenarnya meski “mirip”. Contohnya tertulis: pada 16 Mei 1632, Gubernur Gitzel, padahal yang benar adalah Artus Gysels, dalam kurun waktu 10 tahun gubernur Gitzel berkuasa, padahal Artus Gysels tak berkuasa selama itu, ia “hanya” berkuasa pada 1631-1634 kemudian digantikan oleh Antonie van de Heuvel (1634-1635), ada lagi kalimat : tanggal 02 Februari 1642 ia digantikan oleh Gubernur Deimmar, padahal yang benar adalah Gerard Demmer, lagipula Demmer bukan menggantikan Gysels tapi menggantikan Anthoni Caan (1641-1642). Ada lagi kalimat : pada tahun 1850, Gubernur Deimmer digantikan oleh Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshen, yang benar adalah bukan pada tahun 1850 tapi 1647, yang benar adalah Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Hal ini bisa dimengerti dan ditoleransi akibat keterbatasan manusia meski tetap mengandung “cacat”. Lain lagi dengan sejarah munculnya negeri Amahai serta Nolloth, setelah menceritakan asal usul para leluhur, kemudian “meloncat” ke nama Arnold de Vlaming van Oudshoorn tanpa menyebut tahun. Jadi kita tak tahu secara pasti dan benar, peristiwa itu terjadi pada periode keberapa dalam masa pemerintahan Gubernur Amboina itu. Hal ini bisa dipahami karena hanya “bersandar” pada tradisi lisan yang diturunkan secara berantai. Dengan mengandalkan keterbatasan ingatan maka tentunya hal-hal “cacat” tadi muncul. 

Pada periode pertama, dalam catatan arsip belanda ia pernah, memberikan laporan kepada Gubernur Banda C.W Outhoorn (ayah Gubernur Jenderal VOC, Willem van Outhoorn) pada 16 September 1651.  Selain itu ada informasi pada tahun 1649, ia membangun kembali (memugar) benteng “Verre” di sekitar Kaitetu. Benteng itu oleh penduduk setempat dinamakan “Kota Warwek” mengikuti nama panglima armada dagang Belanda, bernama Admiral Warwijk yang memimpin pembangunan benteng tersebut. Pada awalnya bangunan tersebut berfungsi sebagai loji yang dibangun Portugis pada tahun 1599 untuk menampung bahan rempah-rempah yang dibeli dari penduduk di sekitar daerah itu untuk dibawa ke Ternate dan seterusnya ke Malaka. Setelah Portugis meninggalkan Ambon loji tersebut diambil alih oleh VOC dan akhirnya dijadikan sebagai benteng oleh VOC, semasa pemerintahan Gubernur Gerrad Demmer. Bangunan benteng tersebut terdiri dari dua lantai dan dilengkapi dengan satu menara pengintai. Lantai atas dipakai sebagai tempat tinggal tentara Belanda, sedangkan di lantai bawah terdapat satu ruang penjara dan dilengkapi dengan gudang mesiu. Benteng tersebut pernah diserang dan dibakar oleh masyarakat Kerajaan Hitu di bawah pimpinan Kakiali pada Perang Hitu tahun 1634. Kemudian benteng tersebut dibangun kembali oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn dalam bentuk yang lebih kuat dan besar pada tahun 1649. Benteng tersebut kemudian berganti nama menjadi “Amsterdam”. Ia juga membangun bangunan yang dijadikan rumah sakit, bangunan ini diperbaiki oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schagen. Bangunan ini nantinya dijadikan sebagai Rumah Residen Inggris dan digunakan sebagai tempat penyerahan kekuasaan pada 1817 itu.

Setelah menunaikan periode pemerintahannya yang pertama, ia digantikan oleh Willem Verbeek (1651-1654), ia seperti “menghilang”, tak ada  jejaknya, bahkan catatan-catatan yang ada tak menyebut namanya selama 3 tahun itu. Barulah pada periode kedua, lumayan banyak catatan tentang dirinya.
J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen, Portugezen en Nederlanders,” pada majalah Indonesie, IX, 1956), menulis tentang Arnold de Vlaming van Oudshoorn melakukan pemindahan pendudukan dengan mengosongkan pulau Hoamoal. Dalam tulisannya, Keuning mengungkapkan mengenai proses pemindahan oleh de Vlaming van Oudshoorn:

...Seluruh penduduk di Hoamoal harus dikosongkan, kendati pulau yang subur ini padat penduduk yang berjumlah sekitar 12.000 jiwa. Masyarakat Islam diangkut dan dipindahkan ke pulau Hitu, dan mereka kehilangan Orang kaya-kaya (pemuka) yang dibawa ke benteng untuk dijadikan sandera. Orang-orang biasa dibagi-bagi dan menghuni kampung-kampung yang terdapat di Hitu, dan keluarga-keluarga dipisahkan. Misalnya ayah dan anak, atau adik kakak, tidak boleh hidup bersama dan saling hidup terpisah. Sementara raja-raja dari Hitu, yang berusaha membendung invasi pendatang secara terpaksa dari Hoamoal, karena merasa terancam, tak dapat berbuat apa-apa karena ancaman dari Belanda. Para wanita merasa lebih baik ditinggalkan suami-suami mereka daripada berpisah dengan anak-anak. Gubernur de Vlaming benar-benar kejam, karena siapapun yang melanggar aturan menurut kehendaknya langsung dibunuh. Apa lagi ia didukung baik oleh pemerintah VOC di Batavia maupun oleh Dewan Kota di Ambon. Belanda dengan semaunya menyiksa dan membunuh penduduk yang menjadi budak, rumah-rumah mereka dijarah…
Penduduk pemeluk Kristen dan pemeluk berhala di Hoamoal juga menerima nasib yang sama: mereka dipaksa harus pindah ke Leitimor. Pemindahan ini terjadi pada 6 Maret 1656. Yang tragis, 5 perahu yang membawa mereka tenggelam akibat cuaca buruk. Nasib serupa harus pula dialami penduduk pulau-pulau Boano, Kelang dan Amblau yang juga harus dipindahkan. Penduduk-penduduk ini dikonsentrasikan di pulau Manipa, sementara suami-suami mereka dan laki-laki lajang diangkut ke Ambon. Ribuan penduduk pemeluk Islam di Ihamau, Saparua bersama penduduk Madjira ramai-ramai dipindahkan ke Seram. Mereka sama sekali tidak diperkenankan kembali.
Pada 1657 banyak orang kaya-kaya yang oleh gubernur de Vlaming yang mulanya berada di benteng —berjumlah 282 orang- diangkut ke Batavia. Sejak itupun pulau Hoamoal benar-benar dikosongkan. Perkampungan- perkampungan di sana dibumihanguskan, pohon-pohon cengkih dikuliti dan dibakar. Perkebunan pohon-pohon sagu dihancurkan. Pokoknya pulau itu dijadikan rata tanah. Dari kesemuanya itu hanya daerah-daerah Ambon dan Uliaser yang menjadi pusat produksi penanaman cengkih. Begitu pula pertanian cengkih di Ternate, Halmahera dan Bacan dan pulau-pulau lainnya di sekitar Maluku Utara dibatasi tetapi diawasi ketat. Sultan Mandarsjah khusus datang ke Batavia dengan biaya sendiri dibawa oleh VOC.
Ia hanya memperoleh 12.000 Florin setahun sebagai imbalan, tetapi semua pohon-pohon cengkih di wilayah kesultanan dihancurkan. Operasi Hongi-tochten berlangsung tahunan di luar Ambon dan Uliaser. Walau begitu di beberapa pulau yang diijinkan menanam ribuan pohon-pohon cengkih tetapi langsung untuk pihak VOC...”

Melihat apa yang diuraikan oleh J. Keuning di atas, maka cerita-cerita terbentuknya negeri-negeri di pulau Saparua yang menyebut namanya, itu kemungkinan besar terjadi pada periode kedua kepimpinannya (1654-1656).

Begitu juga dalam arsip Belanda, tertulis: Arnold de vlaming van Oudshoorn : relaas van zijne verrigtingen in ambon, 1654. Jadi bisa disimpulkan bahwa catatan-catatan ini tentang periode kedua masa kekuasaannya. Menjelang akhir jabatannya ini (1656), informasi tentang dirinya, sekali lagi muncul, tapi bukan dari pusat kekuasaannya, melainkan bagian selatan dari daerah kekuasaannya yaitu Solor di Pulau Timor. Ekspedisi balas dendam terhadap dominasi Portugis di Timor dikirim dan dipimpin oleh Jendral paling bersinar disaat itu, Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Ia paling populer karena baru saja “membantai” rakyat Maluku dan menumpas habis pemberontakan yang dalam sejarah dikenal sebagai perang Hoamoal. Namun bintang yang lagi bersinar itu malah meredup di pulau Timor. 2 kali ia berperang, namun kedua-duanya kalah telak dengan meninggalkan banyak korban jiwa anak buahnya. Dengan menanggung rasa malu, ia kembali ke Batavia karena dipanggil pulang oleh Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker (Maetsuijcker). Bahkan dalam “pelariannya” itu, ia menyalahkan rakyat Timor, khususnya para pribumi penunjuk jalan karena melarikan diri dan membelot serta memerintahkan evakuasi besar-besaran dari benteng Henricus. Namun versinya dibantah oleh Ratu Solor dengan mengajukan keberatan kepada Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker.

Sejak saat itu, namanya tak terdengar lagi dalam catatan sejarah di masa itu… hingga akhirnya diketahui ia meninggal pada 1662 tanpa diketahui dimana ia meninggal. Setelah menelusuri seluruh data-data ini, timbul pertanyaan paling mendasar, apa benar benteng Duurstede didirikan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn pada tahun 1676??? Jika ia memang membangunnya, tepatnya tahun berapa??? Dan jika bukan ia, lalu siapa yang membangunnya???
Mari kita kritisi satu demi satu dengan cara membandingkan setiap data yang ada serta menggunakan berbagai dugaan dan analisis. Yang pasti dan tak bisa dibantah adalah Arnold de Vlaming van Oudshoorn adalah Gubernur Amboina selama 2 periode. Dengan pengecekan referensi silang semuanya memastikan hal itu. Lagipula secara sederhana bisa dilihat dalam daftar gubernur Amboina yang pernah memerintah, tak ada nama orang lain yang “mirip” dengannya. Yang paling mendekati hanyalah Outhoorn, itupun orangnya berbeda. Yang bernama Outhoorn adalah C.W Outhoorn. Orang ini adalah ayah dari Gubernur Jenderal VOC Willem van Outhoorn itu. Sang Gubernur Jenderal VOC adalah kelahiran Larike pada tahun 1635, saat sang ayah bertugas di Larike. Dalam tahun 1651, sang ayah diketahui menjadi Gubernur Banda yang berkorespondensi dengan Arnold di tahun 1651 itu.
Dari data-data ini, maka tidak bisa tidak, benteng Duurstede benar-benar dibangun oleh Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Pengertian dibangun bukan dia arsiteknya yang di lapangan, tapi lebih kepada atas perintahnya benteng itu dibangun.
Lalu tepatnya tahun berapa??? Apa benar ditahun 1676 seperti selama ini diketahui??? Dengan berat hati, tahun ini agak meragukan dari sisi ketepatan data dan alur berpikir. Sang gubernur Amboina itu mengakhiri masa jabatannya pada tahun 1656 dan digantikan oleh Jacob Hustaart yang memerintah antara 1656-1662. Hal ini diperkuat dalam plakatboeke yang disusun oleh Mr. J. A. Van Der Chijs pada tahun 1882. Plakatboeke ini disusun ulang olehnya berdasarkan inventaris yang pernah dilakukan pada tahun 1770. Dalam sub judul gubernemen Ambon, terdapat berbagai data berupa daagh register (catatan harian), raporten (laporan), realia, surat menyurat, instructien (instruksi), brieven (penyampaian laporan), resolution (keputusan), dan lain-lain. Dalam sub judul itu, terdapat anak judul memorien van overgave van het bestuur. Di situ terdapat beberapa nama gubernur Amboina yang menyampaikan memorien van overgave saat mengakhiri masa jabatannya. Perlu dijelaskan tentang memorien overgave ini agar dimengerti, kata ini berarti memori serah terima jabatan. Suatu catatan yang berisikan deskripsi pekerjaan, pencapaian, masalah, tantangan, serta program kerja yang belum direalisasikan pada masa ia berkuasa. Catatan ini akan diberikan oleh pejabat lama saat pelantikan pejabat baru yang menggantikannya. Catatan ini penting, sebagai bahan pertimbangan pejabat baru dalam kebijakan saat ia memerintah nantinya. Dalam catatan kaki, Chijs menulis kalau memorien van overgave dari Arnold de Vlamingh van Oudshoorn ke gubernur selanjutnya Jacob Hustaart pada tahun 1656 itu tak ditemukan. Bahkan berdasarkan inventaris tahun 1770, memorien itu tak ada.

Selain itu, seperti yang dituturkan di atas, di akhir masa jabatannya ia memimpin ekspedisi balas dendam ke Solor dan dipanggil pulang ke Batavia, setelah itu namanya “menghilang”. Dari sini, kita bisa bertanya bagaimana mungkin sebuah benteng didirikan oleh seseorang disaat orang itu tak ada lagi??? Benteng didirikan pada tahun 1676, sedangkan sang gubernur itu sudah menjadi mantan gubernur, bahkan telah meninggal di tahun 1662. Andaikan ini bisa dibantah dengan mengatakan ia masih hidup sampai saat benteng itu didirikan, ini juga menimbulkan “masalah” dengan seluruh kebiasaan di masa itu. Dalam seluruh sejarah dan catatan VOC di Hindia Timur sejak 1602-1799 dilanjutkan dengan kekuasaan kolonial belanda sampai 1942, tak ada bangunan yang didirikan oleh orang yang sudah meninggal atau orang yang tidak lagi memegang jabatan (berada) di wilayah itu. Banyak contoh yang bisa disajikan, benteng Victoria di Ambon didirikan oleh Sancho de Vasconcelos yang memerintah Ambon sejak 1572-1591. Benteng ini didirikan pada 23 Maret 1575. Benteng Belgica di Banda, awalnya adalah benteng milik Portugis yang direbut oleh VOC, dan dihancurkan, di lokasi itu dibangun benteng baru pada 04 September 1611 atas perintah Gubernur Jenderal VOC Pieter Both (1610-1614) dan diberi nama Fort Belgica. Begitu juga dengan benteng Nassau di Banda, di tahun 1662 benteng ini telah selesai dibangun, kemudian diperbaiki atas perintah Cornelis Speelman di tahun 1669 dan dikerjakan oleh arsitek yang bernama Adriaan Leeuw. Pembangunan benteng ini memakan waktu 19 bulan dan selesai pada tahun 1672. Kita tahu, bahwa di tahun 1669 itu Cornelis Speelman masih hidup karena masih terlibat dalam perang Gowa Tallo melawan Sultan Hasanudin dan ia menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681-1684. Kemudian Pada tahun 1795, benteng ini dipugar oleh Francois van Boeckholtz—Gubernur Banda yang terakhir.
Dan masih banyak contoh lain yang bisa disajikan. Dari sini bisa disimpulkan kalau sebuah bangunan dalam hal ini benteng didirikan oleh seseorang dengan “syarat” :

1.        Orang itu harus masih hidup.
2.  Orang itu masih memegang jabatan di wilayah itu, atau paling tidak memiliki posisi penting (jabatan).
3.     Orang itu memberikan perintah.
4.   Meski setelah benteng selesai dibangun, orang itu tak ada lagi karena meninggal atau berpindah tempat tugas dan diselesaikan oleh orang lain, tetaplah dia yang disebut-sebut (namanya tercantum) dalam pembangunan bangunan itu bukan orang lain yang sama sekali tak ada hubungannya.

Dengan mempertimbangkan seluruh “syarat” itu, maka agak meragukan jika Benteng Duurstede dibangun pada tahun 1676. Lagipula di tahun itu, yang menjadi Gubernur Amboina adalah Anthoni Hurdt (1672-1678), seorang yang nantinya menjadi Direktur Jenderal Perdagangan di masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (1681-1691). Ia juga pernah menjadi Gubernur Banda dalam tahun 1669, saat benteng Nassau dipugar oleh Speelman. Mereka berteman baik dan nama mereka berdua muncul lagi di akhir masa jabatan Speelman menjadi Gubernur Jenderal VOC seperti diceritakan di bagian atas.

Yang menjadi Gubernur Maluku di tahun 1676 adalah Willem Corput, Willem Harthouwer dan Jacob de Ghein. Jadi jika benteng itu didirikan di tahun 1676, maka “dipastikan” nama Arnold de Vlaming Oudshoorn tidak disebut. Lagipula di masa itu, sikap “narsis pribadi” serta rasa cinta kampung halaman sangat kuat, sehingga sebuah bangunan yang didirikan pasti dinamai dengan namanya, nama kampung halamannya, nama anggota kerajaan di belanda, atau minimal namanya disebut atau dicantumkan sebagai pendiri. Banyak contoh bisa ditampilkan. Saat JP Coen menghancurkan Jayakarta dan menata ulang kota itu, ia ingin menamai kota itu “nieuw hoorn” mengikuti nama kota kelahirannya Hoorn, namun tak disetujui oleh Heeren 17 yang ingin agar nama kota itu Batavia sebagai pengingat suku batavir yang dianggap sebagai leluhur orang-orang belanda dan jerman. Contoh lain lagi, pada masa Gubernur Jenderal VOC Anthoni van Diemen (1639-1645), ia menginstruksikan pelaut VOC Abel Tasman untuk mengeksplorasi Benua Australia. Tasman menemukan sebuah pulau dan diberi nama Diemendlandst atau pulau diemen sebagai penghargaan kepada “bosnya”. Pulau itu sekarang kita kenal sebagai Pulau Tasmania. Pemberian nama Tasmania diputuskan oleh “DPR” di tahun 1805 untuk mengenang sang penemu pulau itu. Begitu juga benteng Culemborg di Batavia, didirikan pada masa van Diemen dan diberi nama mengikuti nama kota kelahirannya yaitu Culemborg di Belanda. 

Tapi bisa juga ada analogi yang lain, benteng Duurstede didirikan tahun 1676 atas perintah Arnold de Vlaming Oudshoorn, meski ia tak lagi menjabat. Hal ini pun bermasalah, karena ternyata ia telah meninggal di tahun 1662, ditambah lagi tak ada “preseden” semacam itu dalam catatan sejarah VOC. Seorang yang tak berkuasa lagi, tak bisa memerintah pembangunan sebuah bangunan apalagi sebuah benteng yang dikhususkan sebagai sistim pertahanan. Lagipula jika tetap “dipertahankan” didirikan tahun 1676, berarti 2 tahun setelah tsunami Ambon yang dicatat seorang naturalis, Georg Everhard Rumphius (1627-1702), pada 1765 dalam catatan hariannya. Tsunami Ambon terjadi pada 17 Februari 1674 bertepatan dengan hari raya Imlek. Ini isi catatan harian Rumphius :

...Tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar 07:30, di bawah bulan yang indah dan cuaca tenang, seluruh provinsi kami –yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Boano, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, meskipun terutama dua yang pertama disebutkan– menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari Penghakiman telah datang, semua orang berlari ke tempat lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu dengan Gubernur. Dia memimpin doa di bawah langit yang cerah sambil mendengarkan bunyi ledakan seperti meriam di kejauhan, terutama terdengar dari utara dan barat laut...

Rumphuis juga mencatat akibat gempa korban yang jatuh sebanyak 2243 orang termasuk 31 orang Eropa. Meski pulau Saparua tidak disebut dalam catatan hariannya secara eksplisit namun pulau Saparua berdekatan dengan Nusalaut, berdekatan dengan Oma di pulau Haruku, maka pastilah juga mengalami efek yang mengerikan. Apakah mungkin dalam tahun-tahun “rehabilitasi” akibat gempa yang memerlukan uang, diluncurkan sebuah “mega project” di Saparua???  Dari sisi “kebijakan public” rasanya tak mungkin. Ditambah lagi, tahun-tahun itu, Uliaser relatif “aman” tak terdengar atau tercatat ada huruhara atau pemberontakan, sehingga tak “dibutuhkan” benteng yang berfungsi sebagai pusat pertahanan dalam kerangka berpikir militeristik.
Dari seluruh analisa itu, maka bisa diragukan benteng Duurstede dibangun dalam tahun 1676. Jika begitu, berarti tahun berapa???  Kesimpulan awal adalah bangunan (benteng) ini dibangun oleh Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Berarti bangunan ini dibangun dalam masa pemerintahannya, entah itu periode pertama atau kedua. Hipotesis yang lebih “kuat” adalah pada periode kedua masa jabatannya (1654-1656).
Penentuan hipotesis ini tentunya memiliki dasar sebagai “backgroundnya”. Seperti yang dijelaskan oleh J Keuning di atas, van Oudshoorn mengevakuasi seluruh penduduk Hoamoal pada tahun 1656. Kondisi “kamtibmas” di Maluku, khususnya Seram, Ambon, dan Lease kacau. Sehingga diperlukan tindakan keras untuk mengatasinya. Di pulau Saparua, baru saja selesai perang Iha pada 1652. Saat ia dikirim ke Solor ia disebut sebagai jenderal paling bersinar saat itu karena berhasil menumpas perang Hoamoal. Berarti bisa dibilang orang ini berhasil mengatasi kekacauan dan “menata” agar penduduk Seram, Lease, Nusalaut dan Ambon “tutup mulut”. Tentunya cara yang dilakukan adalah dengan berbagai macam strategi. Salah satunya dengan pendirian sebuah benteng sebagai “pos pemantau” atau simbol takluknya sebuah daerah terhadap orang baru. Preseden seperti ini banyak dilakukan oleh para pendahulunya, maka tentunya warisan ini juga diikuti. Strategi militer ini harus dijalankan. 

Dari sisi geografis, pulau Saparua adalah  “moncong” paling vital dalam rencana eksekusi strategi yang dimaksud. Maka disitu harus dibangun sebuah benteng. Ada informasi menarik tentang sejarah perang Iha yang berakhir pada tahun 1652 itu. Di situ dibilang setelah perang Iha selesai, Arnold de Vlaming van Oudshoorn memerintahkan seluruh negeri-negeri di gunung untuk turun dan membentuk pola pemukiman baru di sepanjang pantai. Dengan pola seperti itu, maka rakyat “dibungkam” ala orde baru. Jika itu yang terjadi pada negeri Iha, maka itu juga terjadi pada seluruh negeri di pulau Saparua. Pernyataan ini seperti dikuatkan dengan cerita-cerita munculnya negeri-negeri di pulau Saparua yang menyebut-nyebut nama orang ini. Jika rakyat telah turun ke daerah pesisir dan ditata, maka langkah selanjutnya adalah pendirian “lembaga” yang bertugas menata dan juga menekan/menebar teror sisi psikologis rakyat yaitu pendirian sebuah benteng dengan seluruh aparat keamanan di dalamnya.
Setelah selesai perang itu, beberapa wilayah kekuasaan kerajaan Iha dibagi/diberikan kepada sekutu/membantu VOC dalam perang itu. Salah satunya adalah Tanah Hatala yang diberikan (dihibahkan) kepada negeri Saparua, namun ditolak, dan akhirnya diberikan kepada negeri Tuhaha. Perlu diperhatikan, bahwa  sejarah perang Iha yang disusun ini adalah versi dari orang-orang iha, maka tentunya tradisi oral ini diturunkan dari generasi ke generasi untuk diingat kepada generasi selanjutnya. Berarti setiap detail, deskripsi jalannya pertempuran, siapa lawan, siapa kawan, siapa pengkhianat akan diceritakan sebagai pengingat kepada generasi berikutnya. Yang “anehnya” dalam cerita perang itu, negeri Saparua tak disebut-sebut sekalipun, bahkan orang-orang yang terlibat pun tidak satupun berasal dari negeri Saparua. Berarti negeri Saparua bukan lawan juga bukan kawan alias netral dalam kasus perang itu. Jika dikategorikan lawan atau pengkhianat, maka tentunya harus ada disebut, jika bukan sekutu VOC atau sang pengkhianat/lawan, mengapa tanah milik kerajaan Iha itu dihibahkan ke negeri Saparua meski ditolak??? Jika negeri Saparua adalah pengkhianat dan Iha “segan” menyebut Saparua, alasannya apa??? Ternyata dalam sejarah itu secara eksplisit disebut nama-nama orang yang menjadi sekutu dan lawan. Maka tentunya bukan karena alasan “segan” tadi. Kita memerlukan analisis sedikit “mendalam” dan “loncatan berpikir” untuk memahami kasus yang aneh ini.

Dalam tradisi lisan yang dipercayai oleh orang-orang negeri saparua, benteng Duurstede didirikan di atas dati milik keluarga Titaley. Titaley merupakan salah satu marga (faam) yang dianggap sebagai penduduk asli (orang negeri asli) negeri Saparua, bersama marga Anakotta, Simatauw dan Ririnama. Saat kedatangan para leluhur negeri Saparua dan kemudian pembagian wilayah (tanah), keluarga Titaley menempati wilayah yang disebut muka negeri, yaitu lokasi seputar benteng Duurstede sekarang. Memahami kasus ini, perlu ditanyakan lebih lanjut, untuk apa VOC (Belanda) menghibahkan sepotong tanah pada sebuah negeri, jika negeri itu nyata-nyatanya “netral” dalam konteks perang Iha??? Ada apa??? Alasannya apa??? Kita tahu, VOC memiliki persepektif dagang yang orientasinya adalah keuntungan semata, tentunya ia tak mungkin memberikan sesuatu dengan gratis, alias tidak ada makan siang yang gratis. Bertolak dari pola pikir seperti ini, maka pemberian dari VOC pasti memiliki alasan dan tujuan. Apa mungkin tanah Hatala adalah kompensasi dari lokasi pendirian benteng??? Apakah ini semacam “tukar guling” antara VOC dan negeri Saparua??? Meski dalam catatan sejarahnya akhirnya itu ditolak??? Ya ini semacam “jembatan penghubung” untuk merangkai mata rantai yang hilang (missing link) tadi. Memang hipotesis ini “agak berani” dan lemah karena tak ada validitas data yang menyertainya, namun tak salahnya juga kita berhipotesis dengan berdasar pada pembacaan background sejarahnya. Lagipula jika “penguasa” lokasi benteng Duurstede adalah Titaley kenapa proses hibah tanah Hatala dikatakan kepada Saparua??? Mengapa tidak dikatakan kepada individu??? Apakah keluarga Titaley adalah “raja” saat itu, penguasa dan pejabat yang berkuasa memimpin Saparua??? Bisa saja… karena bertindak sebagai raja maka wajar jika sebuah tanah yang diberikan bisa disebut sebagai pemberian kepada sebuah negeri. Terus kenapa ditolak??? Banyak faktor bisa disebut disini, lokasi tanah baru itu tidak strategis dalam pandangan orang Saparua (raja/penguasa), atau bisa juga tanah baru itu tidak terlalu “dibutuhkan” karena wilayah kekuasaan (petuanan) negeri yang luas, maka tidak diperlukan lagi tambahan wilayah baru. Atau bisa juga negeri Saparua tidak mau menerima sesuatu pemberian yang bukan karena hasil yang “halal”, atau mungkin juga tawaran pemberian itu tidak “menarik”. Dan masih banyak faktor yang bisa disebut. Terus kenapa tanah itu diberikan??? Apa tujuannya, jika kita memperhatikan lokasi tanah yang akan diberikan itu, mungkin kita bisa memahami tujuan dari penawaran yang diberikan oleh VOC. Tanah itu sekarang berdekatan dengan lokasi hutan/gunung Saniri, berarti tanah itu terletak di sebuah perbatasan. Jika begini, maka kita bisa memahami tujuannya. Tanah itu diberikan dengan tujuan, agar negeri Saparua bisa jadi benteng pertama bagi VOC jika diserang oleh Iha. Tanah itu sebagai penyekat pertama, jika ada niat kerajaan Iha atau orang-orang yang kalah dalam perang Iha berniat membalas kekalahan. Mungkin saja, negeri Saparua tahu tujuan ini, maka tanah itu ditolak dan akhirnya diberikan kepada Tuhaha yang secara eksplisit disebut dalam perang Iha itu. 

Apakah mungkin karena tanah yang diberikan kemudian ditolak itu bisa dikaitkan dengan klaim mata rumah parentah??? Semuanya bisa saja dengan memahami hubungan kausalitas pada kasus tanah Hatala, lokasi pendirian benteng dan perang Iha tadi. Dalam sejarahnya, setiap berhubungan dengan sebuah wilayah, VOC selalu berhubungan dengan penguasa wilayah itu atau minimal dengan pemilik dari lokasi itu. Maka wajar jika Belanda berhubungan dengan Titaley yang notabene adalah pemilik lokasi yang diinginkan. Maka wajar juga mereka melakukan negosiasi dengan berbagai tawaran. Mungkin dari sini, sekali lagi mungkin, dari sini muncul klaim keluarga Titaley yang menyatakan bahwa pemberian gelar “raja” adalah pemberian Belanda. Meski kenyataannya gelar raja sudah ada jauh sebelum Belanda ada di negeri Saparua. Mungkin karena proses negosiasi “tukar guling” tanah itu ditolak, maka VOC memberikan “hadiah prestise” berupa “pengesahan/penguatan” mata rumah parentah yang dimiliki oleh Titaley sejak awal. Sekali lagi ini mungkin dan berupa hipotesis, perlu kajian lebih jauh tentang hal ini.
Dengan berdirinya sebuah benteng di negeri Saparua, maka segala strategi militer VOC telah berhasil. Mereka bisa mengawasi setiap negeri di pulau Saparua, muka seram dan wilayah-wilayah lain yang sebelumnya telah “dibungkam” oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Dengan mengerti seluruh uraian ini, maka benteng Duurstede kemungkinan besar didirikan pada tahun 1656. Lagipula penentuan tahun 1656 ini bisa dihubungkan dengan tahun 1676, bukannya kedua tahun ini “sama” yang berbeda hanyalah antara 5 dan 7, yang bisa juga “ditoleransi” sebagai “kekeliruan” dalam penulisan ulang. Apalagi tahun ini berasal dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Maluku yang mungkin saja melakukan “kekeliruan” dalam hal penulisan tahun. Jadi kita telah tahu, benteng ini didirikan oleh Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn, pada sekitar tahun 1656 dengan motivasi dan latar belakang pendiriannya.

Lalu bagaimana benteng ini didirikan, siapa arsiteknya, siapa saja pekerjanya, berapa biaya yang dikeluarkan untuk membangun benteng, bagaimana maketnya, bahan bakunya darimana, apa melibatkan para budak untuk mengerjakannya, dan pertanyaan lainnya. Dengan jujur, kita tak bisa mengetahuinya, seluruh deskripsi pembangunan benteng Duurstede tak ada. Jadi pertanyaan-pertanyaan di atas tak bisa dijawab untuk memenuhi ekspestasi keinginan tahuan kita. Hal ini diakibatkan karena, memorien van overgave dari Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn saat serah terima pejabat baru, Jacob Hustaart tak ditemukan. Itu yang dikatakan oleh Mr. J.A. van der Chijs dalam plakatboeke tahun 1882 itu. Setiap pejabat lama yang akan diganti harus menyusun memorien van overgave untuk diberikan kepada pejabat yang menggantinya. Dan “sialnya” catatan ini tak ditemukan dalam seluruh arsip-arsip VOC. Pastilah dalam catatan itu, Arnold akan menulis tentang pembangunan benteng dengan seluruh deskripsinya.
Jadi kita selamanya tak akan bisa mengetahui soal ini. Yang lebih “aneh” lagi, seluruh memorien van overgave dari Arnold de Vlaming van Oudshoorn dan Nicholaas Schagen tidak ditemukan. Kedua orang ini, sebelum menjadi Gubernur Amboina, adalah Gubernur VOC di pos dagang VOC. Mereka berdua pernah menjadi Gubernur Malaka, dan memorien van overgave kedua orang ini selama bertugas di Malaka tak ditemukan. Hal yang sama terjadi lagi saat mereka berdua bertugas menjadi Gubernur Amboina. Keanehan ini bisa memunculkan “kecurigaan” lebih jauh. Apakah ketiadaan catatan ini karena “disengaja” atau memang hilang. Kalau dibilang dihilangkan secara sengaja, rasanya tak adil karena banyak memorien van overgave dari pejabat lain juga ada. Bahkan memorien van overgave yang berisikan “kekejaman” pejabat itupun ada. Jadi kita harus menerimanya sebagai “kesialan” saja. Perlu dipahami jika arsip-arsip VOC itu sangat banyak, seluruh arsip yang berhasil dikumpulkan dan “diselamatkan” kalau diatur bisa sepanjang 10 KM, bayangkan betapa banyaknya. Jadi mungkin saja memorien van overgave itu hilang karena keterbatasan kerja manusia, atau telah dimakan rayap dan tak bisa lagi diselamatkan dan dikumpulkan.

Meski kita tidak tahu, deskripsi pembangunan benteng Duurstede, kita bisa “mengcopi paste” “deskripsi pendirian” benteng lain yang sezaman atau lebih tua untuk memahami proses pendirian sebuah benteng.  Contoh yang bisa ditunjukkan adalah pembangunan benteng Belgica di Banda dan benteng Nassau di Banda.  
Benteng Belgica pada awalnya adalah sebuah benteng yang dibangun oleh bangsa Portugis pada abad 16 di Pulau Neira, Maluku. Lama setelah itu, di lokasi benteng Portugis tersebut kemudian dibangun kembali sebuah benteng oleh VOC atas perintah Gubernur Jendral Pieter Both pada tanggal 4 September 1611. Benteng tersebut kemudian diberi nama Fort Belgica, sehingga pada saat itu, terdapat dua buah benteng di Pulau Neira yaitu; Benteng Belgica dan Benteng Nassau. Benteng ini dibangun dengan tujuan untuk menghadapi perlawanan masyarakat Banda yang menentang monopoli perdagangan pala oleh VOC. Pada tanggal 09 Agustus 1662, benteng ini selesai diperbaiki dan diperbesar sehingga mampu menampung 30 – 40 serdadu yang bertugas untuk menjaga benteng tersebut. Kemudian pada tahun 1669, benteng yang telah diperbaiki tersebut dirobohkan, dan sebagian bahan bangunannya digunakan untuk membangun kembali sebuah benteng di lokasi yang sama. Pembangunan kali ini dilaksanakan atas perintah Cornelis Speelman. Seorang insinyur bernama Adriaan Leeuw ditugaskan untuk merancang dan mengawasi pembangunan benteng yang menelan biaya sangat besar ini. Selain menelan biaya yang sangat besar (309.802,15 Gulden), perbaikan kali ini juga memakan waktu yang lama untuk meratakan bukit guna membuat pondasi benteng yaitu sekitar 19 bulan. Biaya yang besar tersebut juga disebabkan karena banyak yang dikorupsi oleh mereka yang terlibat dalam perbaikan benteng ini. Akhirnya benteng ini selesai pada tahun 1672.
Sepuluh tahun kemudian komisaris Robertus Padbrugge (Gubernur Amboina) ditugaskan untuk memeriksa pembukuan pekerjaan tersebut, tetapi ia tidak berhasil dalam tugasnya tersebut. Hal ini dikarenakan banyak tuan tanah yang beranggapan bahwa biaya tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hasilnya, sebuah benteng yang hebat dan mengagumkan. Karena hal tersebut, Padbrugge menghentikan penyelidikannya. Walaupun benteng tersebut dikatakan sangat hebat dan mengagumkan, tetapi masalah bagaimana untuk mencukupi kebutuhan air dalam benteng masih juga belum terpecahkan. Setelah menimbang-nimbang apakah akan menggali sebuah sumur atau membuat sebuah bak penampungan air yang besar atau membuat empat buah bak penampungan air yang lebih kecil, akhirnya diputuskan untuk menggali sebuah sumur di dekat benteng dan menghubungkannya dengan sebuah bak penampung air berbentuk oval yang dibuat di tengah halaman dalam benteng.

Atau “deskripsi” pembangunan benteng Victoria di Ambon :
Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon, adalah berawal dari dibangunnya benteng Portugis di pantai Honipopo pada abad ke-16. Batu pertama dari benteng tersebut diletakkan oleh seorang panglima armada Portugis di Maluku, Sancho de Vasconcelos, pada tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya. Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada”. Pemberian nama tersebut berkaitan dengan hari Kenaikan (“Anunciada”) yang bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan benteng tersebut. Tetapi, menurut para saksi mata dari abad ke-17 dan ke-18, baik Rumphius, Valentijn dan Rijali, di kalangan penduduk Pulau Ambon, benteng tersebut lebih dikenal dengan sebutan “Kota Laha”, yang berarti benteng (“Kota”) di teluk (“Laha”). Benteng Kota Laha berbentuk segi empat mengikuti bentuk benteng batu yang umumnya dibangun di Eropa dalam abad pertengahan. Pada keempat sudutnya dibangun empat buah menara bersegi tiga untuk menempatkan meriam. Karena ancaman terbesar akan datang dari laut, maka kedua menara meriam yang mengarah ke laut dibuat lebih kokoh dari yang mengarah ke darat. Dua gerbang utama menjadi pintu masuk ke benteng tersebut, sebuah terletak pada tembok ke arah laut (untuk muatan kapal-kapal) dan sebuah lagi pada tembok ke arah darat. Benteng Kota Laha jatuh dari tangan Portugis ke pihak VOC pada tanggal 23 Maret 1605 di bawah pimpinan Admiral Steven van der Haghen, sehingga benteng tersebut hanya berhasil dipertahankan oleh Portugis selama 30 tahun (1575-1605). Kemudian benteng tersebut berganti nama menjadi “Victoria” (kemenangan) pada tahun 1614, sebagai peringatan atas kemenangan Belanda dari Portugis. Kota Laha menjadi satu dari dua benteng di Asia yang berhasil direbut VOC dari Portugis, selain benteng Malaka yang direbut tahun 1648. Kemudian dalam perkembangannya, pada tanggal 17 Februari 1674 terjadi gempa yang dasyat di Pulau Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Akibatnya, benteng Victoria mengalami kerusakan berat, bahkan beberapa bangunan tidak dapat digunakan lagi. Kerusakan dalam benteng Victoria yang diakibatkan oleh gempa segera dapat diatasi. Rumah-rumah kayu yang terdapat dalam benteng tersebut berangsur-angsur diganti dengan bangunan yang lebih baik dan kokoh. Namun pada tahun 1754 terjadi kembali gempa dahsyat yang menimbulkan kerusakan yang sangat parah pada benteng Victoria. Karena kesulitan keuangan, renovasi benteng itu baru selesai akhir tahun 1780-an. Karena perbaikan dan perubahannya sangat banyak, maka sejak saat itu benteng tersebut dinamakan “Nieuw Victoria” (Victoria Baru).

Meskipun tidak secara mendetail, tapi minimal kita bisa mengetahui tentang pendirian benteng. Ya mungkin seperti kedua contoh di atas, benteng duurstede didirikan. Terus siapa yang menjadi “kontraktornya”, pemenang “tender” dari mega project ini, siapa-siapa pekerjanya, dan darimana biaya pembangunannya???

Leonard Blusse dalam bukunya Strange Company : Chinese settlers, mestiso woman and the dutch in VOC Batavia (Persekutuan aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC – edisi terjemahan), menulis panjang lebar tentang pembangunan kota Batavia yang dilakukan oleh JP Coen dan beberapa Gubernur Jenderal VOC berikutnya. Ia mendasari deskripsi pembangunan kota Batavia berdasarkan buku karangan F. de Haan, Oud Batavia dan pembacaan seluruh arsip-arsip Hoge Regering, berupa daagh register, realia, resolusi dan berbagai istilah lain. Pada lembar-lembar tulisannya, ada sebuah paragraph yang menulis : pekerjaan bangunan-bangunan penting seperti penggalian dan benteng kota dan semua gedung dikontrakkan dan dilaksanakan oleh kontraktor-kontraktor china (hlm 148). Selain itu, ada juga tertulis : Gubernur Jenderal VOC Hendrik Brouwer dalam general missive tertanggal 27 desember 1635 menulis : tidak ada seorang burgher belanda yang mau melakukan kontrak untuk pembangunan proyek-proyek seperti menggali saluran atau memasok kayu, gamping dan batu. Hanya orang-orang cina yang giat di sector ini. Tanpa bantuan mereka, pembangunan benteng dan tata letak kota seperti sekarang ini akan membutuhkan waktu bertahun-tahun dan lebih lama lagi untuk perampungannya (hlm 116). Ada lagi : pada akhir musim penghujan tahun 1638, hoge regering memutuskan untuk mengganti pagar kayu sepanjang batas kota dibarat utara dan selatan dengan tembok batu biaya seluruhnya 11.000 real. VOC akan menanggung para budak sebagai pekerjanya, sedangkan biaya pembangunan berasal dari tanggungan burgher belanda 3.000 real dan 8.000 real dari orang-orang cina (hlm 120). Selain itu tertulis juga: pada 6 september 1638, Jan Con (kontraktor Cina) mempersilahkan pemerintah memeriksa perkembangan pekerjaan dibagian selatan dan barat kota. Benteng diperiksa dan dinyatakan telah dibangun sesuai petunjuk. 3 hari kemudian, sisi pekerjaan disisi utara kota dicantumkan juga dalam kontrak (hlm 122).

Tentang sumber dana pembangunan dan upah para pekerja, di situ tertulis :
"...Semua orang china dibatavia, termasuk para awak kapal dikenakan pajak tambahan sebesar 3 real. Maka terkumpullah 9000 real yang akan digunakan untuk upah para pekerja. Pajak ini ditagih hampir setiap tahun sejak 1625, hingga selesai pembangunan benteng pada 1640..." (hlm 110)

Dari uraian Blusse di atas, kita mengetahui bahwa seluruh pembangunan benteng, dan penataan kota Batavia, dilakukan oleh para kontraktor Cina, dengan para pekerja, dari budak-budak yang dari cina, bali, Sulawesi, Maluku (Banda), jawa dan sisa budak-budak saat portugis “menjajah” Hindia Belanda, serta di pos-pos Portugis macam Malaka, Goa, Koromandel, dan lain-lain. Jejaring kerjasama antara VOC dan “para taipan” cina itu sangat kuat, dan dinamis. Mereka benar-benar “menguasai” seluruh pelaksanaan pembangunan infrastuktur di saat itu. Maka tidak mengherankan, jika mereka juga ikut “terlibat” dalam pelaksanaan pembangunan benteng duurstede. Meski data validnya tak ada, tapi mengingat rentang waktu yang tidak terlalu jauh (40-20 thn) kemudian, maka “masuk akal” jika mereka juga punya “keterkaitan” dengan pembangunan benteng Duurstede. Begitu juga para pekerja, para pekerja dari Cina, dan para budak, sumber dananya mungkin seperti yang diulas Blusse, dari pajak tambahan, yang berasal dari pribumi setempat dalam hal ini orang-orang pulau Saparua.
 
Lalu, bagaimana bentuk asli benteng Duurstede??? Apakah bentuk yang ada sekarang, itu adalah bentuk awal yang dibangun oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn??? Agak sulit menjawabnya, tapi kemungkinan adalah sama. Ada beberapa “dasar” yang mendasari pernyataan seperti itu. Pada masa itu, bangunan benteng didirikan dalam pola bujursangkar atau lingkaran, atau lingkaran di dalam segiempat. Pola ini sangat “trend” di masa abad pertengahan di eropa. Jadi pola yang lagi ngetrend itu, diaplikasikan juga di lokasi yang baru. Bentuk benteng yang menyerupai puri/kastil sebagai tempat pertahanan dan juga tempat tinggal dibangun dan dikelilingi oleh tembok-tembok tebal dan tinggi. Itu merupakan “gaya” di abad pertengahan dan masih terpengaruh pada sifat feodalisme kaum bangsawan Eropa. Banyak benteng di masa itu yang berbentuk segi empat dan lingkaran yang bisa ditampilkan sebagai contoh atau pembanding. 
Benteng Nassau dalam lukisan tahun 1646
 Keempat benteng di atas, adalah bentuk-bentuk benteng yang dibangun seperti yang diulas oleh Blusse dalam buku itu. Semua benteng itu berlokasi di jakarta, meski sekarang semuanya telah dibongkar.  
Selain bentuk bujursangkar (segi empat) dan lingkaran yang merupakan pola top di masa itu. Pola bujursangkar dan lingkaran adalah bentuk geometri “suci” atau sakral, yang dipercayai oleh orang-orang di masa itu. Mereka mempercayai jika bujursangkar atau lingkaran atau lingkaran dalam segiempat adalah bangun ruang dari “nirwana/surgawi/suargaloka” yang ditafsirkan dari pembacaan kitab suci. Jadi bangunan-bangunan suci yang didirikan adalah “manifestasi” atau “dihadirkan” kembali ke bumi.  
Karen Amstrong dalam beberapa bukunya mengulas tentang hal ini. Jerusalem: 1 kota 3 iman, Berperang demi Tuhan, Sejarah Alkitab : telaah historis atas buku yang paling banyak dibaca di dunia (semuanya edisi terjemahan) adalah beberapa buku yang dimaksud. Ia mengatakan bahwa, di awal abad XV, Eropa mengalami pencerahan dalam bidang apa saja. Dimana abad-abad sebelumnya begitu dirasuki oleh dogmatika Katholik yang sangat ketat dan saat abad pencerahan, eropa mulai bergerak kearah rasionalitas dan pragmatis, semua hal dirasionalisasi, termasuk penafsiran iman. Namun di sisi lain, perasionalisasian itu tetap masih “diwarisi” pola pikir mistis yang masih kuat. Jadi disatu sisi bergerak ke akal tapi alam bawah sadar mereka masih memegang pola-pola lama. Termasuk soal bangun geometri suci tadi. Jadi pembangunan benteng yang dilakukan adalah “kombinasi” antara sisi rasionalitas dan mistis yang ada dalam kepala. Benteng yang didirikan dengan tembok-tembok tebal, tinggi adalah sisi rasionalitas dengan tujuan strategi militer untuk bertahan terhadap serangan musuh, dan di sisi lain memiliki pola-pola “suci” bentuk geometri suci. Jadi generasi pertama VOC, yang membangun benteng-benteng memiliki “filosofi” seperti ini.

Kembali ke benteng Duurstede, benteng ini merupakan bentuk lingkaran dan segi empat. Setengah lingkaran yang “dikunci/dijepit” oleh segiempat pada gerbangnya. Berdiri di atas batu karang setinggi 20 kaki atau sekitar 6 meter dan “dihiasi” oleh anak tangga sebanyak 24 buah anak tangga untuk tiba di pintu masuk atau gerbang. Dilihat dari posisinya, benteng ini dikatakan sangat strategis, karena berada di ketinggian, di pinggir laut. Posisi yang tinggi berarti bisa melihat kemana saja, bisa memantau ke segala arah, bisa mengawasi siapa saja, dan mengetahui segala gerak gerik. Di pinggir laut, berarti dekat dengan lalu lintas perdagangan yang menjadi tujuan VOC. Dari sisi filosofis pun seperti memiliki makna “tuan besar” yang bertahta di atas yang lain, sebuah simbol kekuatan, penguasa yang menaklukan musuh di bawah “kaki-kakinya” karena sang musuh (rakyat) menghuni di bawah “kakinya”.
Mungkin itulah yang dipikirkan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn saat membangun benteng Duurstede. Bentuk dan polanya memang mirip dengan benteng Henricus dan Concordia di Solor Pulau Timor. Kedua benteng ini khususnya Benteng Henricus memiliki “kaitan” dengan Arnold. Selain karena benteng inilah yang membuat ia “turun tangan” dalam ekspedisi balas dendam, gambar benteng ini juga terdapat dalam deskripsi tentang Solor yang dibuat oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn pada tahun 1656. Jadi mungkin saat menyerang solor itulah, Arnold menulis atau “menggambarkan” situasi Solor dan Timor beserta benteng Henricus itu. Di bawah ini adalah gambar kedua benteng.
Benteng Concordia
Benteng Henricus
 Memang kedua benteng ini bukan didirikan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn (belanda) tapi oleh Portugis, namun seperti yang dijelaskan di atas, kedua bangsa ini tidak berbeda dalam dasar pembangunan sebuah benteng. Mereka memiliki pola pikir yang sama karena berasal dari daratan dan kawasan yang berdekatan (bertetangga) yaitu Eropa Barat. Lagipula bentuk-bentuk benteng seperti ini merupakan hal “lumrah”. Dan posisi hampir semua benteng berdekatan dengan laut. Maka benteng Duurstede pun juga sama. Yang lebih dekat sebagai pembanding adalah benteng Victoria yang berhadapan dengan laut.
Jadi benteng Duurstede dibangun dengan “kebiasaan lumrah” pada masa itu. Namun “anehnya” hampir 40 tahun kemudian tepatnya di tahun 1690/1691, barulah benteng ini diselesaikan oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schagen yang berkuasa pada 1691-1696. Atau jika kita mau tetap ‘setia” pada tahun 1676, maka 15 tahun kemudian barulah benteng ini diselesaikan. Suatu waktu yang lumayan lama. Pertanyaannya kenapa harus begitu lama??? Banyak faktor yang bisa di munculkan di sini, meski hanya berupa dugaan-dugaan saja. Namun sebelumnya kita “berkenalan” dulu dengan sang aktor di balik penyelesaian pembangunan benteng Duurstede ini.
Nicholas Paul Schagen adalah Gubernur Amboina yang menggantikan Dirk Haas (1687-1691), dan akhirnya ia digantikan oleh Cornelis van Stull (1696-1697). Sebelum menjadi Gubernur Amboina, ia adalah Gubernur Malaka seperti Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Ia memerintah di Malaka pada tahun 1684-1685, tepatnya sejak 1 Desember 1684 – 1685. Kemudian menjadi Gubernur Bengal (India) pada 1685-1687. Masa mudanya tak banyak diketahui, namanya “baru” muncul 3 tahun setelah  kematian Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman pada 11 Januari 1684. Ia bersama Marten Pitt menjadi kuasa hukum (kurator) untuk mengurus harta peninggalan Speelman, dalam tahun 1687. Jadi saat selesai menjadi Gubernur Malaka, dan Direktur pos VOC di Bengal (India), ia kembali ke Batavia dan menjadi seorang kurator yang menangani harta peninggalan. Ditahun-tahun ini, ia “bermasalah” dengan Jhon Bitter, seorang bekas anggota Raad van Justicie yang menikah dengan Cornelia van Nijenroode, putri Cornelis van Nijenroode van Delf, bekas kepala gudang (opperhofd) pos VOC di Hirado (Jepang) dengan gundik orang Jepang. Sang ayah adalah generasi pertama seangkatan J.P Coen. Ia berkuasa disana sejak 1623-1633. Masalah hukum ini awalnya masalah rumah tangga biasa, yang berujung pada pertikaian perceraian dibumbuhi oleh perebutan harta gono-gini. Kasus hukum ini sangat menggemparkan Batavia di masa itu, karena melibatkan banyak kaum elit, diantaranya Speelman, anggota Raad van Justicie, Raad van Indie, Willem van Outhoorn, dewan gereja hingga Heeren 17 di Belanda. Cornelia van Nijenroode adalah teman baik Cornelis Speelman, yang pernah bekerja sebagai akuntan pembukuan di kantor Pieter Cnoll, suami pertama Cornelia. Selain itu Cornelia van Nijenroode bersahabat baik dengan Petronella Wondaraer yang adalah istri Cornelis Speelman. Bahkan Cornelis Speelman adalah “bapa ani” orang tua rohani dari anak laki-laki Cornelia, Pieter Cnoll van Nijenroode.

Maka tentunya dengan “jaringan” persahabatan yang saling “membelit” model ini, maka Nicholaas Schagen pun “bertemu” dengan Jhon Bitter. Pertikaian ini berlarut-larut, sejak 1678 hingga berakhir pada 1692an, saat Jhon Bitter kembali ke Belanda dan berdiam di suatu tempat. Tepatnya di wijk Duurstde Negara bagian Utrecht bagian Utara belanda. Informasi ini berasal dari arsip gereja protestan belanda di wijk duurstede tanggal 27 Juni 1692 yang mencatat 3 orang baru yaitu Jhon Bitter dan kedua anaknya. Di wijk Duurstede itu, ia bahkan membeli rumah dan menghabiskan masa tuanya, masa tuanya ia pernah menjadi anggota dewan kota dan walikota wijk duurstede sebanyak 2 kali. Uniknya, Jhon Bitter bukan “asli” daerah itu, ia adalah asli Arnhem, namun ia pindah kesitu, karena koneksi Nicholaas Schagen. Nicholas Schagen adalah keturunan dari keluarga terpandang Utrecht yang berasal dari Wijk Duurstede. Jadi mungkin, Jhon Bitter memilih tempat hari tuanya, karena “usulan” Nicholas Schagen. Setelah selesai mengurus harta Speelman, ia kemudian menjadi wakil ketua Raad van Justicie, dan beberapa tahun kemudian ia menjadi Gubernur Amboina dimasa Gub Jend VOC Joannes Camphuys. Di ambon itulah, ia menyelesaikan pembangunan benteng duurstede yang “mangkrak”. Nicholas Schagen sepertinya “ditakdirkan” untuk menyelesaikan apa yang dibangun oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Salah satu contohnya, ia menyelesaikan rumah Residen Inggris yang jadi tempat serah terima kekuasaan di tahun 1817 itu, rumah itu semula berfungsi sebagai rumah sakit, dibangun oleh Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn (1647-1650), tetapi kemudian direnovasi kembali oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schaghen (1691-1696) karena telah mengalami kerusakan akibat gempa yang terjadi pada tahun 1674 (Tsunami Ambon). Dimasa pemerintahannya yaitu di tahun 1695, gereja Melayu dibongkar dan dibangun gedung baru yang selesai pengerjaannya pada masa pejabat gubernur Cornelis Stull (1696-1697) di tahun 1696. Bagian bawah dari tembok gedung gereja terbuat dari batu dan sisanya dari kayu yang merupakan sumbangan penduduk negeri-negeri di Leitimor. Dalam gereja baru tersebut terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu pilihan (kayu langoa dan eboni). Di hadapannya terdapat kursi-kursi khusus untuk para pejabat seperti gubernur, oppercoopman (kepala urusan administrasi), capitein dan anggota-anggota dewan pemerintahan (politike raad)dan untuk anggota-anggota jemaat disediakan bangku-bangku yang juga terbuat dari kayu langoa. Terdapat di jalan Chinesestraat (kini bernama jalan A.J. Patty), letak gereja Melayu berada tepat di gedung PUSKUD. Tetapi akibat Perang Dunia kedua yang pecah pada pertengahan abad ke-20 (1942-1945) mengakibatkan gereja tersebut di bom oleh pesawat tempur Jepang.

Jadi, dalam catatan sejarah, Nicholaas Schaghen menyelesaikan pembangunan benteng Duurstede yang awalnya dibangun oleh de Vlaming van Oudshoorn. Tapi mengapa butuh waktu begitu lama baru diselesaikan??? Memang sejak de Vlaming van Oudshoorn “menghilang” tak ada kabar selanjutnya tentang pembangunan benteng ini. Ataukah mungkin pembangunan benteng itu sebenarnya telah rampung di masa de vlamingh di tahun 1656 dan penyelesaian yang dilakukan oleh Schagen adalah renovasi akibatnya tsunami Ambon tahun 1674 itu. Atau mungkin, meski telah dibangun 1656 tapi tahun-tahun selanjutnya tidak mendapat “prioritas” dari para penggantinya. Sejak de vlaming van Oudshoorn sampai ke Nicholas Schaghen itu, ada 9 gubernur Amboina yang memerintah, mulai dari Jacob Hustaart (1656-1662), Simon Cos (1662 – 1664), Johan van Dam (1664 – 1665), Pieter Marville (1666 – 1667), Jacob Cos (1669-1672), Antonie Hurdt(1672 – 1678) Robert de Vicq (1678 – 1682), Robert Padtbrugge (1682 – 1687), Dirk de Haas (1687 - 1691). Tak diketahui dengan pasti kenapa begitu lama baru diselesaikan. Tapi melihat tahun akhir pembangunan benteng itu, mungkin beberapa tahun sebelum itu, “prioritas” pemerintah diarahkan pada pemulihan akibat tsunami Ambon di tahun 1674. Barulah pada masa pemerintahan Schagen itulah, keadaan sudah mulai stabil dalam hal ini keuangan, maka diputuskan untuk menyelesaikannya.

Benteng ini kemudian dinamakan oleh Nicholaas Schaghen dengan nama DUURSTEDE. Perlu dipahami saat dibangun oleh Arnold, benteng itu belum dinamai. Jadi barulah pada masa Nicholaas Schaghen baru benteng itu bernama DUURSTEDE. Ia memberi nama benteng ini dengan nama kampung halamannya alias “tampa putus pusa” yaitu wijk Duurstede di Utrecht Belanda. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa Nicholaas Schaghen adalah keturunan keluarga terpandang di Wijk Duurstede. Jadi wajar jika ia menamakan suatu bangunan mengikuti nama yang membawa kenangan indah dalam hidupnya dalam hal ini adalah kampung halamannya. Contoh lain Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750-1762) menamakan benteng Philippinerburg dari Grietenburg sesuai dengan nama kedua puterinya. Puteri Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709), Petronella, meletakkan batu pondasi pertama di alun-alun kota yang baru di Batavia pada 1707. Ada juga contoh lain dengan Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750), setelah melakukan inspeksi, akhirnya anak buah Gustaaf menemukan tempat yang strategis di daerah Cianjur, Jawa Barat. Tempat inilah bernama Bogor yang akhirnya dipilih Gustaaf untuk membangun tempat peristirahatan. Tepatnya pada bulan Agustus tahun 1744, Gustaaf membangun sebuah pesanggrahan yang modelnya ia tiru dari bangunan Blainheim Palace di Oxford, Inggris. Dalam sejarahnya Blainheim Palace ini merupakan tempat kediaman Duke of Malborough, nenek moyang Princes Wale Lady Diana.

Di wijk Duurstede sendiri, 300 ratus tahun sebelumnya telah berdiri puri/kasteel Katholik yang bernama puri Duurstede yang juga rumah tinggal para rahib/imam/uskup katholik David dan Philip dari Burgundy (Perancis). Puri atau kasteel ini berdiri dipinggir sungai Lek, dengan suasana pemandangan yang indah dan tenang. Di masa Nicholaas Schaghen ini, puri ini telah runtuh dan tersisa puing-puing. Meski ia tak mengalami “masa keemasan” puri Duurstede, namun tentunya kenangan-kenangan itu tetap diwariskan oleh keluarga kepada keturunan keluarga besar Schaghen. Dengan memori yang “tertanam” itulah saat ia menyelesaikan sebuah benteng yang mirip dengan apa yang pernah ada di kampung halamanya, maka ia menamai seperti itu. Ia ingin “menghadirkan” suasana kampung halamannya ke Saparua, meski hanya berupa nama dan pemandangan yang mirip. Ia “mengcopy paste” puri Duurstede yang adalah “Rumah Tuhan” di kampung halamannya ke “hasil ciptaannya” di Saparua, di jantung Uliaser. Semuanya saling kait mengkait, antara lokasi puri Duurstede di wijk Duurstede dengan benteng duurstede di pinggir laut, puri Duurstede yang merupakan “Rumah Tuhan” karena merupakan rumah tinggal para uskup Katholik dengan benteng Duurstede yang berbentuk setengah melingkar dan segiempat yang adalah bentuk bangun ruang geometri suci. Ia pasti memahami semua itu Ia membawa masa lalu ke masa saat ia menyelesaikan pembangunan benteng itu dengan seluruh alasan, latar belakang, tujuan dan makna-makna simbolis di dalamnya, baik filosofis, mistis, rasionalistis dan emosi kedalam sebuah bangunan, berupa nama dan suasana di sekitarnya. Kita tak mengetahui secara pasti, kapan ia memulai proses lanjutan pengerjaan benteng Duurstede. Lalu bagian-bagian apa saja yang “dirubah” atau dilanjutkan. Hal ini diakibatkan karena seperti dijelaskan pada kasus yang menimpa Arnold de Vlaming van Oudshoorn, memorien van overgave milik Nicholas Schaghen kepada pejabat berikutnya, tak ditemukan. Dengan tak adanya catatan itu, maka kita tak bisa mengetahuinya.
 
Di masa pemerintahan Nicholaas Schagen inilah, diketahui masyarakat negeri Hunut menulis surat “curhat” kepada Gubernur Jenderal. Surat itu berisikan keluhan dari masyarakat karena orang-orang Souwa (Soya), Marduka (Mardika), Haloen (Halong), Noesa Nywa (Nusaniwe), Alan (Alang) “merampas” tanah mereka. Surat ini bertanggal 24 Juni 1695 dan diterima di Batavia tanggal 14 Juli 1695.

Di tahun 1696, ia mengakhiri masa jabatannya dan “menghilang” dalam catatan sejarah. Dimana ia meninggal, dan dimakamkan dimana, tak diketahui. Hanya dalam sebuah data, ia dikatakan meninggal pada tahun 1696, mungkin saat ia mengakhiri masa jabatannya, tak lama kemudian ia meninggal dalam tahun itu. Beberapa puluh tahun kemudian, anaknya Jan Paul Schaghen menjadi Gubernur VOC di Pos VOC Ceylon (Srilangka) yang memerintah 19 Oktober 1725-16 September 1726.

Mungkinkah disaat ia menyelesaikan “hasil ciptaannya” ia berpikir, jika suatu saat nanti “rumah tuhan” ciptaannya akan bermandikan darah??? Akan menjadi tumbal dan terus menerus mengucurkan darah dan “mati” hingga ratusan tahun kemudian??? Mungkin pernah, tapi mungkin juga tidak… namun ada yang menarik, kampung halamannya, Utrecth itu, memiliki “nama besar” dalam “darah” VOC. Gubernur Jenderal VOC JP Coen adalah kelahiran Hoorn, sebuah daerah di Utrecht, Gubernur Hindia Belanda Carel Sirardus graaf van Hogendorf (1840-1841) adalah keturunan keluarga terpandang dari Utrecht, Gubernur Hindia Belanda Dirk Fock (1921-1926) kelahiran Wijk Duurstede Utrecht, adik Gub Jend Hindia Belanda Frederik Jacob (1881-1884), yaitu Eduard Herman Jacob adalah Gubernur Utrceht (1882-1888), bahkan Fredrick Jacob sebelum Gubernur Jenderal VOC itu menikah dengan Leonie Susanne Charlotte van Hogendorp (1831-1852, puteri C.S.W. van Hogendorp  yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gubernur VOC Jeremias van Riemsdijk (1775-1777) adalah kelahiran Utrecht, Gubernur Hindia Belanda Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen adalah kelahiran Utrecht tahun 1778,  yang memerintah sejak 1816-1826, keluarga van den Berg adalah keluarga terpandang dari Utrecht.
Jadi “koneksi’ jejaring Utrecht dikombinasikan dengan ikatan perkawinan yang saling “membelit” itulah yang membuat kita paham mengapa Johannes Rudolph van den Berg ditunjuk sebagai Residen Saparoea. Dan mungkin juga bisa, kalau kita paham, saat benteng Duurstede “jatuh”, J.A. Middelkoop dan Nicholas Engelhaard “berteriak” kepada Van der Cappelen, yang langsung bereaksi begitu cepat, dengan mengirim A.A. Buyskess demi “nama baik” kampung halamannya wijk Duurstede. Ada rasa cinta yang mendalam, cinta berlebihan pada kampung halaman serta usaha “menyelamatkan muka” keluarga-keluarga terpandang di Utrecht, membuat Van der Cappelen bereaksi untuk merebut benteng Duurstede kembali dari tangan Thomas Matulessy dan kawan-kawan.  

Yang diketahui sejak Thomas Matulessy tertangkap, Residen Saparoea adalah Johan Alexander NEIJS (NEYS), kelahiran  Sumenap 21 Februari 1775 dan meninggal di Ternate 27 Juli 1835. Ia adalah President van raad van Justitie, boekhouder di Ambon. Masuk dinas VOC 1784. Tahun 1791 Asisten, lalu onderkoopman 1802. Tahun 1809 (catatan lain 1806) hoofd administrateur Ambon. Tahun 1810 disebut memangku posisi Residen Manado. September 1817 Residen Saparoea. Lalu Vice President Raad van Justitie Ambon 1817, Residen Ternate 5 April 1817 hingga 1830 saat jadi President van de Raad van Justitie dan lid van de Wees-en Boedelkamer aldaar. Putrinya Wilhelmina Neijs (1810-1887 menikah dengan Joan Pieter Cornelis CAMBIER yang menjadi Residen Manado pada 1831-1842. Residen Manado ini pernah ditempeleng (ditampar) oleh Pangeran Diponegoro saat diasingkan ke Manado. Selain itu ada, Johannis Benedictus Lodewijk ENGELHARD. Tahun 1826 Gecommitterde untuk Seram dan Buru, lalu penasehat Sultan Jailolo, Hoofd van het Rijk Seram. Tahun 1830-1837 Asisten-Residen Saparua dan Haruku lalu Residen Banda dan Juni 1842 disebut diangkat Residen Manado. Tahun 1843 ia menjabat Residen Rembang (hingga 1844), lalu Residen Jepara 1847-1848 dan Residen Besuki 1848-1852.
Ada juga  Reinier SCHERIUS (Probolinggo 1810-Probolinggo 1869). Residen Manado 1848-1851. Sebelumnya sebagai Asisten-Residen Saparua dan Haruku Maluku 1844-1848, juga president van de Gewone Landraad, ambtenaar, van de burgerlijke stands, juga berfungsi notaris dan vendumeester. Sebagai residen merangkap President Land of Minahassa-Raad. Tahun 1852 menjabat Residen Probolinggo. Kawin di Probolinggo 17 Desember 1855 dengan Carolina Charlotta Nagell.
Selain itu, dalam plakatboeke yang disusun oleh Mr J.A. van Der Chijs itu, kita bisa lihat pada anak judul Saparoea, tertulis ada laporan-laporan dari Saparua ke Ambon. Tahun-tahun yang tertulis adalah, 1761-1770, 1774-1789, 1791 (28 Maret), 1789-1792, 1793-1795, 1803-1805, 1807-1809, 1810, 1812, 1813, 1814-1816. Ada juga laporan tentang kelahiran dan kematian pada desember 1815. Kita hanya bisa menduga bahwa laporan-laporan ini ditulis oleh Residen Saparoea yang berkedudukan di benteng Duurstede. Jika kita bisa membaca laporan-laporan ini, setidaknya kita bisa mengetahui kondisi benteng, dan kondisi masyarakat saparua dan pulau saparua secara umum.  
Ada juga informasi, dari seorang teman Johan Titaley. Ia menceritakan jika seorang opanya pernah mengebom benteng Duurstede di perang dunia kedua, sekitar tahun 1945, saat Jepang menjajah Indonesia. Opanya itu tergabung dengan pasukan sekutu. Ia menjadi bomber dan mengebom benteng Duurstede. Menurut cerita, bagian yang terkena bom adalah bagian pintu. Mungkin bagian-bagian inilah yang nantinya direhab pada tahun 1977-1982 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kantor wilayah Maluku.

Begitulah nasib benteng Duurstede… benteng yang tumbuh bersama masa-masa kanak kita hingga sekarang… benteng yang pernah jadi tempat bermain, menghabiskan masa anak-anak, remaja, hingga merantau ke tanah orang tapi benteng itu masih tetap “hidup” dalam hati kita... telah 3 abad lebih, benteng itu berdiri hingga saat ini, banyak kisah yang melingkupi, banyak cerita yang lahir bersama dirinya…

Di bawah ini adalah sebagian gambar benteng Duurstede yang pernah ada... gambar 1 adalah hasil lukisan dari Mr Gerrit Willem Carel Baron van Hoevell di tahun 1875an, saat ia menjadi kontrilaur di karesidenan Amboina pada 1870-1875. Hasil lukisan ini ada dalam buku tentang masa remaja Jean Luberth van den Berg van Saparoea. Ia juga pernah menjadi Residen ambon pada 1891-1896. Sedangkan gambar 2, 3 dan 4 tidak diketahui tepatnya. Namun melihat ‘hasil” kemungkinan itu adalah hasil “fotografi” yang diambil pada awal abad XX, awal tahun 1900an hingga menjelang tahun 1945an
Lukisan Gerrit Willem Carel Baron van Hoevell 1875
Hasil Fotografi

Hasil Fotografi
Hasil Fotografi

D. Penutup

Sejarah panjang tumbuh dan hidup dalam detak-detak nyawanya, 3 abad lebih sejak didirikan, melewati zaman demi dengan cerita sendiri-sendiri. Ia pernah menemani masa kecil kita dan jadi kenangan kita. Artikel ini ditulis sebagai kado cinta kepadanya dan dipersembahkan untuk memperingati Hari Pattimura yang selalu berkaitan dengan dirinya. Kado ini tidak sempurna, dan tidak akan pernah sempurna karena banyak terbatas. Namun itulah yang bisa diberikan sebagai rasa sayang pada sebuah kenangan yang banyak sejarahnya.
Yang perlu dipahami adalah seluruh data dan tahun pada artikel ini, bersumber pada seluruh arsip yang dibaca dan bisa diperiksa ulang. Namun hipotesis dan analisa adalah pendapat pribadi dan merupakan tanggung jawab penulis semata.
Mungkin lewat artikel ini, kita diajak bukan hanya mengenal saja, tapi juga menjaga dan merawatnya. Semoga ia terus diperhatikan oleh pejabat berwenang, oleh kita, masyarakat kecil. Semoga ia juga menjadi pusat perhatian pada peringatan hari pattimura, bukan hanya hutan Saniri, baileu negeri Saparua… semoga!!!

Daftar Bacaan:

1.   Mr. J. A. van Der Chijs, Inventaris Islands Archief 1882
2. F.S. Gaastra, Organisasi VOC
3. G.L. Balk, F. van Dijk dan D.J. Kortlang, Sejarah Arsip-arsip VOC dan Kolonial Belanda
4. Hendrik E. Niemeijer, Pengurus pusat VOC dan lembaga-lembaga pemerintahan kota Batavia (1619-1811)
5. ANRI, The Diplomatic Correspondence between asian rulers and Batavia castle during the 17th and 18th centuries
6. ANRI, Inventaris van de collective Engelhard
7. Leonard Blusse, Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Mestizo, dan Belanda di Batavia VOC
8. Susan Blackburn, Jakarta sejarah 400 tahun
9. Mona Lohanda, Sejarah para pembesar mengatur Batavia
10. Jean German Taylor, kehidupan  sosial di Batavia, Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur
11. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal  35 (edisi terjemahan)
12. D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 212 (edisi terjemahan)
13. Karen Amstrong, Jerusalem : 1 kota, 3 iman
14. R.Z. Leirissa dan J. A. Pattykaihattu : Sejarah Sosial di Daerah Maluku
15. Karen Amstrong : Sejarah Alkitab, telaah historis atas buku yang paling banyak dibaca
16. Karen Amstrong : Berperang demi Tuhan
17. Denys Lombard : Nusa Jawa Silang Budaya
18. Tionghoa dalam pusaran politik Indonesia, Benny Sutrisno
19. Leonard Andaya : The world of Maluku, Eastern Indonesia in the early modern periode
20. Jan S. Aritonang dan Karel Steenbrink : A History of Christianity in Indonesia
21. Berbagai artikel dan blog yang berkaitan dengan isi artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar