Selasa, 19 Mei 2015

"Jejak China" Dalam Kehidupan Sosial Orang-orang Negeri Saparoea


SEBUAH CATATAN RINGAN
(Oleh : Aldryn Anakotta)

PENGANTAR
Kebudayaan adalah proses akal budi tertinggi manusia1. Tradisi/kebiasaan/adat adalah bagian dari kebudayaan itu. “kebudayaan baru” juga bisa lahir dari pertemuan, perbenturan dan persilangan 2 budaya yang berbeda. Banyak contoh yang bisa dimunculkan dalam hal ini. Wayang adalah hasil persilangan budaya hindu dan tradisi islam2. Dan masih banyak lagi contohnya. China dikenal dalam peradaban memiliki kebudayaan yang tinggi3. Bersama kebudayaan india/mohenjodaro, mesir kuno, china telah mencapai level itu. Chinalah yang menemukan kertas, petasan, dan sistim navigasi lebih awal dibandingkan orang eropa4. Dengan navigasi yang hebat itulah, china telah mengelilingi dunia, menaklukan samudera dan menciptakan jalur perdagangan “jalan sutra”5. Dari pelayaran inilah, budaya china dibawa, disebar, disemai dan bahkan mengalami “modifikasi” di tempat-tempat yang disinggahi.
Maluku adalah surga dunia rempah-rempah6. Kesanalah bangsa china berlayar, mencari, menemukan, berdagang dan “menyembunyikan” surga dunia dari bangsa eropa. Lewat perdagangan dan kontak ekonomi sosial itulah, kebudayaan china turut serta dibawa.
Artikel ini ditulis, untuk menelisik lebih jauh jejak-jejak yang mereka tinggalkan di bumi Maluku, khususnya di negeri saparua. Jejak-jejak yang telah jadi kebiasan. Jadi budaya baru yang mungkin kita tak tahu sejarah asal usulnya.

JEJAK-JEJAK YANG TELAH MEMBAUR
Mungkin banyak yang tak menduga, namun sejarah telah mencatat dan pada akhirnya kita tak bisa menyangkalnya. Kebiasaan atau kebudayaan orang-orang china/tionghoa yang awalnya dari China daratan berkembang bahkan berasimilasi dengan kebudayaan lokal, “menciptakan” kebiasaan yang direproduksi bahkan dimodifikasi dengan konteks budaya yang jadi tempat tinggal mereka. begitu juga yang terjadi di negeri saparua. Berikut ini adalah sebagian, yang perlu kita ketahui bersama-sama.

1.   Hari Pasar
Bagi orang negeri Saparua, “hari pasar” adalah hari rabu dan sabtu. Hari pasar ini dalam kebudayaan sosial orang-orang lease disebut pasar pulu7. Pengertian hari pasar yang dimaksud adalah hari-hari dalam satu minggu, dimana aktivitas jual beli di pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat berlangsung ramai, penuh banyak orang, proses interaksi dan sosialisasi yang masif serta berbeda dibandingkan hari lainnya dalam minggu itu. Memang dalam enam hari itu, tiap harinya ada aktivitas jual beli dipasar, namun tidaklah seramai di hari-hari yang sudah jadi “ketetapan” dan kebiasaan itu. Darimana tradisi ini berasal??? bagaimana awal mulanya??? dan bagaimana proses terjadinya, dalam enam hari itu hanya 2 hari saja yaitu hari rabu dan sabtu yang “ditetapkan” sebagai hari pasar dan dikenal dalam kebiasaan orang negeri saparua???.
Kita perlu menarik asal mulanya sampai jauh kebelakang. Sejarah ini bermula saat Gubernur Jenderal VOC yang ke 4 dan ke 6, Jan Pieterzoon Coen (1619-1923/1627-1629) menduduki jabatannya di Batavia. Di masa J.P. Coen inilah, komunitas china mendapat tempat prestisius di mata VOC. Bahkan Kapitan China Souw Beng Kong menjadi sahabat dekat Gubernur Jenderal itu. Dari pertemanan ini, orang-orang china diberikan kesempatan luas untuk mengembangkan usaha dagangnya. Populasi china juga meningkat dari tahun ke tahun. Di satu sisi, para pembesar VOC juga mulai menata Batavia sebagai kota mengikuti kota-kota di Eropa. Lambat laun Batavia dikenal sebagai Ratu Dari Timur" (Koningen van Oosten). Berganti Gubernur Jenderal VOC, komunitas china masih tetap dipercaya dan mulai membentuk kawasan-kawasan china yang dikenal dengan nama pecinan (china town). Glodok, Asemka, Pancoran dan Petak Sembilan, selain itu ada juga Passer Baroe, Meester Cornelis Senen (Jatinegara), Pasar Senen; Pasar Tanah Abang dan sebagainya. Kawasan-kawasan ini dikenal sebagai pecinan. Di tahun 1735, 4 tahun sebelum pembantaian orang China, Justinus Vinck mendirikan pasar (passer) Senen dan Pasar Tanah Abang di atas tanah miliknya, di daerah Weltevreden (sekitar Monas dan Lapangan Banteng). Pasar senen awalnya bernama Vinck-passer mengikuti nama pendirinya. Akhirnya menjadi pasar senen (senin) karena pasar ini dulunya hanya buka (beraktivitas) pada hari senin. Kata senen karena pengucapan orang betawi untuk senin adalah senen. Sedangkan pasar tanah abang hanya buka pada hari sabtu. Bahkan pemerintah kolonial sampai menetapkan hari senin dan sabtu sebagai hari pasar. Di tahun 1751, pasar tanah abang juga buka pada hari rabu. Sehingga hanya hari senin, rabu dan sabtu yang dikenal sebagai hari pasar dalam aktivitas jual beli8. Karena kawasan ini merupakan pecinan, maka tradisi ini “dibawa” oleh orang-orang china yang “mengungsi” ke Indonesia timur setelah pembantaian 1740. Menurut M.C. Ricklefs, ia menduga setelah pembantaian ini, banyak kaum china yang melarikan diri ke Indonesia timur9.
Selain itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa “penetapan” hari pasar adalah karena Belanda. Salah satunya adalah Stenli Reigen Loupatty, dalam jurnalnya : Papalele, Potret Perempuan Saparua dalam pemberdayaan ekonomi keluarga dan kesetaraan gender, mengungkapkan bahwa proses pengaturan dan waktu pasar (hari pasar) untuk melaksanakan perdagangan diatur oleh Belanda, dan mendapat pengawasan langsung oleh pegawai yang diangkat oleh Belanda dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi VOC. Dalam melaksanakan seluruh kegiatan ini, maka rakyat diwajibkan untuk melakukan transaksi jual beli rempah-rempah 2x dalam 1 minggu yaitu hari rabu dan sabtu. Kebijakan ini bertujuan untuk menghindari penampungan hasil perdagangan rempah-rempah oleh rakyat dan dijual kepada pedagang nusantara dan timur asia lainnya10.
Menurut penulis, benar pendapat itu, seperti yang dijelaskan dalam pembangunan pasar senen oleh Justinus Vinck. Memang Belanda (VOC) yang menetapkan hari pasar secara institusi. Namun meski ditetapkan/diatur secara institusi, tetapi tidak ada aktivitas maka sama saja. “hari-hari” aktivitas inilah yang sebenarnya dilakukan oleh orang china pada awalnya. Dari kebiasaan itulah, maka belanda (VOC) kemudian mengaturnya menjadi aturan tertulis atau dilembagakan.
Mungkin dari sini, tradisi penetapan “hari pasar” berasimilasi, berbentur dengan budaya lokal dan jadi kebiasaan di Indonesia timur khususnya kepulauan Lease.
  
2.      Papalele
Definisi dan sejarah awal papalele, tidak diketahui dengan pasti. Entah darimana kata ini berasal dan artinya apa. Namun kata ini bukan kata “asing” dalam kehidupan sosial orang-orang Maluku khususnya orang negeri saparua. Istilah papalele merujuk pada bentuk perdagangan dan perekonomian masyarakat kecil. “Profil” papalele bisa digambarkan sebagai berikut : seorang pedagang membeli suatu produk dari produsen/penjual, kemudian menjual kembali produk itu dengan harga sedikit tinggi demi keuntungan. Contoh sederhana, seorang ibu membeli ikan dari nelayan kemudian menjual kembali ikan itu kepada pembeli lain dengan harga di atas harga beli awal. Kelompok wanita papalele produk ikan ini dikenal dengan istilah jibu jibu11. Kebanyakan wanitalah yang terlibat dalam aktivitas ekonomi ini. Dari aktivitas inilah, muncul istilah mama-mama papalele atau parampuang-parampuang papalele (wanita pedagang). Bahkan istilah papalele pun telah mengalami perluasan makna. Kata ini di tujukan kepada orang yang cerewet mulutnya/tak bisa diam.
Mungkin kita masih teringat dengan kalimat seperti ini : ose pung dalang mulu su macang parampuang papalele saja (mulutmu seperti mulut wanita-wanita pedagang). Istilah ini berasal dari aktivitas mama/perempuan papalele yang tawar menawar harga dengan pembeli. Sebuah negosiasi barang yang penuh riuh dan ramai.
Ada ulasan menarik oleh Elifax Thomix Maspaitella dalam blognya kuti kata. Dalam artikelnya,  jejak China di Maluku, Kapitalisme di pedesaan, Pendatang dan Ambtenaar, Artefak-artefak China, ia menduga bahwa bahwa “sistem papalele juga adalah suatu model kerja baru yang turut dipengaruhi oleh gaya berdagang orang China. China juga memperkenalkan sistem jual-beli dengan menyertakan uang atau barang berharga, dan manajemen pascapanen dalam bentuk simpan uang (simpang kepeng)”12.
Alimudin Ridwan (2005)13 dalam penelitiannya tentang Papalele, di Mandar Sulsel menyimpulkan bahwa kata papalele dalam konteks orang Mandar disebut pappalele.
Menurutnya pappalele berasal dari kata lele dan mappalele. Secara harfiah berarti orang yang memindahkan.
Definisi ini pun “mirip” dengan penjelasan Simon Pieter Soegijono14. Dalam paper : Papalele, Budaya Ekonomi Lokal, ia mengutip Souissa (1993:38) dan Mailoa (2006:75) yang menyatakan kata papalele berasal dari kata papa dan lelePapa berarti memikul atau membawa sedangkan lele berarti keliling. Jadi papalele berarti berkeliling membawa atau memikul.
Ia juga menyatakan bahwa sistim papalele ini diduga mulai ada dan berkembang di zaman VOC yang menekankan pola hongi.
Pendapat ini “sebaiknya” dikritisi lebih jauh. Dalam catatan-catatan sejarah, J.P. Coen mengakui dan terpesona dengan cara berdagang orang-orang china di Batavia. Orang-orang china telah jauh “menghuni” Batavia sebelum Belanda datang dan mulai menata sistim kolonisasi di tanah jajahan. Edmund Scott pemimpin loji Inggris di Banten (1603-1604) melukiskan kesannya tentang pecinan di pesisir Jawa sbb (Lombard, 1996 jilid 2:275)15 : “sejak tiba di pelabuhan-pelabuhan pesisir, kita dengan mudah melihat ciri khas daerah pecinan. Daerah pecinan seolah-olah merupakan sebuah kota dalam kota. Letaknya disebelah barat kota dan dipisahkan oleh sungai. Rumah-rumahnya dibangun dengan pola bujur sangkar dan terbuat dari bata. Wilayah ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai melalui sungai”.  
Berdasarkan catatan-catatan ini, tak bisa dibantah bahwa memang “stuktur” pasar telah ada jauh sebelum VOC menginstitusionalisasi pasar mengikuti model pasar-pasar “ciptaan” orang-orang china.
Menurut penulis, “struktur” perdagangan orang-orang china inilah yang kemudian di “adopsi” dan dijadikan “baku” dalam institusi VOC yang ketat. 
Mungkin ada benarnya bahwa sistim ini awalnya berasal dari orang-orang china, meski tak tersedia arsip lengkap tentang hal dimaksud.. Dari arsip-arsip dan catatan sejarah, orang china awalnya membeli rempah-rempah dan membayarnya dengan porselin, sutra, perunggu dan barang-barang berharga lainnya. Ini adalah sistim barter. Kemudian hasil pembelian rempah-rempah itu, dijual lagi di Arab, India sampai ke Eropa. Cara berdagang inilah yang mungkin “diwariskan” dan di “rekonstruksi” ulang oleh masyarakat lokal, dengan pengaturan VOC secara ketat dan memaksa. Hal ini “diamini” oleh Sihasale dalam penelitiannya (2003:48)16 yang menyimpulkan jaringan perdagangan papalele bertumpu pada aspek ekonomi dan kultural. Aspek ekonomi tentang jaringan yang terbentuk merupakan sistim mata rantai perdagangan yang sederhana dan dan tidak panjang. Sedang aspek kultural adalah soal jaringan dan hubungan yang terjalin bersifat internal karena faktor kekerabatan dan pola “pewarisan” ke generasi berikutnya.
 Mungkin pola-pola inilah yang awalnya dilakukan oleh orang-orang china dan kemudian di “modifikasi ulang” dalam konteks lokal.

3.      Pantangan/Larangan (Tabu) membersihkan (Menyapu) kotoran dalam rumah di malam hari
Pantangan/larangan tentang hal ini sampai sekarang masih berlaku di negeri saparua. Anak-anak di zaman ini mungkin sudah jarang mendengar hal ini. Kalaupun mendengar, pantangan tersebut dianggap telah kuno. Namun bagi anak-anak yang pernah mengalami dekade tahun 80an, pantangan ini sangat kuat tertanam. Penulis berkali-kali ditegur oleh orang tua, jika membersihkan/menyapu kotoran di dalam rumah pada malam hari. Selalu saja ada kata-kata sakti : jang manyapu dalang rumah malang-malang nanti berkat seng masu dalang rumah  (jangan membersihkan/menyapu rumah di malam hari, nanti rejeki sulit didapatkan). Darimana tradisi pantangan bersifat “mistik” ini berasal???
Rupanya tradisi ini berasal dari tradisi/kebiasaan orang china saat merayakan imlek/tahun baru china. Menurut Ridwan Saidi, sejarahwan Betawi, ada kebiasaan di malam menjelang imlek, yang melarang orang china membersihkan rumah. Tak boleh membersihkan rumah di malam itu, jika membersihkan, rejeki yang diharapkan akan sulit didapatkan. “Jika nyapu rumah, ntar rejekinya ikut kesapu”, demikian kata Ridwan Saidi17.
Kita tahu bahwa Maluku adalah pusat rempah-rempah, dan mulai dicari oleh bangsa China jauh sebelum bangsa Eropa datang. Melalui jalur perdagangan yang rumit itu, orang–orang china datang membeli rempah-rempah bahkan pada akhirnya berdiam dan menjadi bagian masyarakat. Dari sinilah tradisi mereka ikut dibawa, dirayakan bahkan dilestarikan. Budaya atau kebiasaan ini mengalami kontekstualisasi dengan budaya lokal dan dogma kristen. Salah satunya penggunaan kata berkat dalam pantangan ini. Mungkin budaya lokal dalam hal ini iman Kristen turut “merubah” pemaknaan ulang terhadap kata dan makna rejeki.

4.      Lemong China (Jeruk)
Lemong china (lemun/jeruk) adalah salah satu jenis jeruk yang digunakan dalam kuliner. Orang-orang Maluku khususnya negeri saparua sering menggunakan jeruk ini dalam pembuatan colo-colo (makanan khas Maluku). Tingkat keasaman dari jeruk ini lebih di rasa “tepat” dibandingkan dengan asam dari cuka.
Entah darimana, jenis jeruk ini dinamai seperti itu. Namun ada dugaan kuat, dalam bukunya, 1421 saat China menaklukan dunia, Gavin Menzies memperkirakan jenis tanaman “baru”18, dibawa oleh armada china yang mengelilingi dunia dan dibudidayakan di tempat-tempat yang disinggahi. Mungkin jenis tanaman baru yang dimaksud adalah jenis jeruk ini meski tak disebutkan secara eksplisit namanya. Atau mungkin juga jenis jeruk ini adalah termasuk rempah-rempah yang jadi incaran selain lada, pala, cengkih. Jika dugaan ini yang benar, mungkin  jenis jeruk dinamakan oleh masyarakat lokal dengan melihat tekstur fisiknya. Jeruk ini memiliki kulit yang berwarna kuning dan bertekstur halus serta licin. Mungkin dari anatomi inilah, jeruk ini dinamakan seperti itu, mengikuti orang china yang berkulit halus dan berwarna kuning (ras kuning)

5.      China Saparua
Sebuah identitas diri yang telah berbaur. Selain istilah china saparua, ada china dobo, china geser, china ambon dan lain-lain. Mungkin lebih jelasnya, bisa dibaca dalam http://kutikata.blogspot.com tentang masalah ini dalam artikel yang ditulis Elifax Tomix Maspaitella19.

Pecinan di berbagai tempat yang melahirkan istilah ini. China saparua merujuk pada orang-orang china yang telah lama jadi bagian dari negeri saparua. Ada sikap “adopsi” dan “toleransi” saat orang-orang china mengunakan identitas ini. Sikap menggabungkan asal leluhur mereka dan “tempat baru” hunian mereka. Tempat hunian yang juga tempat berusaha, mencari nafkah bahkan tempat generasi baru dilahirkan.
  
Kawasan Pecinan Saparua
6.      Patekoan (8 poci/teko air)
Istilah ini tentunya “asing” di telinga orang-orang negeri saparua. Namun maknanya ternyata bisa ditemui dalam kehidupan sosial tiap hari. Buat orang-orang Maluku yang pernah mengalami masa konflik kemanusian (1999-2004), sedikit banyak “tahu” hal ini.
Masih ingatkah kita saat arus lalu lintas diblokade, hingga masyarakat dari jazirah nusaniwe yang bekerja di kota ambon harus melewati gunung –gunung untuk mencapai rumah??? Saat melewati gunung, lembah di sepanjang daerah batu gajah, pandan-pandan hingga mangga dua, ada banyak penduduk yang berbaik hati menyediakan minuman buat para pelewat. Mereka menyediakan air dalam ceret dan gelas yang ditaruh di meja di depan rumah, hingga orang-orang bisa minum jika haus. Penulis pernah mengalami dan melihatnya berulang kali di masa kelam itu. Pengalaman masa sekolah di negeri saparua saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler juga seperti ini. Darimana kebiasaan ini berasal??? Apakah ini “asli” kearifan lokal yang bersumber dari jiwa sosial masyarakat??? Ada catatan sejarah menarik yang bisa “menghubungkan” kebiasaan ini.
Di Batavia pada zaman VOC, hidup seorang china yang sangat kaya dan berpengaruh. Karena posisi inilah, VOC mengangkat menjadi kapitan china yang merupakan penghubung masyarakat china dengan VOC. Namanya Gan Djie yang menjadi kapitan china dari tahun 1663 – 1675. Istrinya sangat berjiwa sosial, tiap hari istrinya menyediakan teh/air bagi masyarakat sekitar yang lewat, jika haus bisa meminumnya tanpa membayar. Teh/air minuman itu diletakan dalam 8 poci/teko. Dalam bahasa china 8 poci/teko disebut pat te–koan. Kawasan tempat tinggal kapitan china dan istrinya itu, kemudian dikenal sebagai jalan patekoan di Jakarta sekarang ini20.
Mungkinkah kebiasaan ini “diwariskan” dan akhirnya jadi kearifan lokal???. Perlu diselidiki lebih jauh. Namun menurut penulis, kebiasaan ini bisa “berpengaruh” kepada masyarakat lokal, berbaur dan jadi “kearifan lokal” baru.

REFLEKSI
Haruslah diakui bahwa jejak-jejak kebudayaan china telah tertanam jauh dan berusia tua. Kebudayaan yang awalnya “asing” telah menjadi kehidupan sosial hari-hari di masa sekarang.
Orang-orang china telah “mewariskan” banyak “kekayaan” tradisi dan kita patut menghargainya. Ada nilai-nilai positif dalam tradisi yang perlu direnungi secara mendalam dan terbuka. Mereka bukan lagi orang asing. Mereka telah menjadi “orang negeri” dan berbaur dengan golongan lain. Mungkin saatnya, kita bertoleransi, menerima dan ikut berbudaya dalam kehidupan. Keaneka ragaman itu perlu. Pruralitas itu sangat berharga. China Saparua telah berdiam lama, ikut dalam sejarah negeri penuh sejarah ini. Kita patut mengapresiasinya. Dan penerimaan yang terbuka, melibatkan mereka dalam kehidupan sosial adalah bagian “toleransi” itu. Semoga!!!

Sumber :
1.     Pendapat beberapa ahli tentang pengertian kebudayaan
2.   M. C. Ricklefs : Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 (edisi terjemahan)
3.     Wikipedia : kebudayaan china
4.     Wikipedia : penemuan penemuan oleh bangsa china
5.     Wikipedia : sejarah jalan sutra
6.     Wikipedia : sejarah maluku
7.   Stenli Reigen Loupatty : Papalele, Potret perempuan saparua dalam pemberdayaan ekonomi keluarga dan kesetaraan gender, sebuah jurnal, BPNB Ambon, 2012 hal 4
8.      http://pemprovdki.go.id : asal usul nama tempat di jakarta
9.     M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 (edisi terjemahan)
10.  Stenli Reigen Loupatty : Papalele, Potret perempuan saparua dalam pemberdayaan ekonomi keluarga dan kesetaraan gender, sebuah jurnal, BPNB Ambon, 2012 hal 4-5
11.  Juanita F. Sopamena, Sari Rahayu Ura : Hubungan faktor –faktor sosial ekonomi dan tingkat pendapatan perempuan papalele di desa hitumessing, kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, jurnal Agrinimal Vol 2, April 2012 hal 33
12.  http://kutikata.blogspot.com : Jejak China di Maluku
13.  Alimudin Ridwan (2005) dalam referensi sebuah artikel/jurnal/skripsi :  PAPALELE, Potret aktivitas komunitas pedagang kecil di Ambon, (tak di ketahui penyusunnya)
14.  Simon Pieter Soegijono : Papalele, Potret Ekonomi Lokal, paper, UKSW  2008, hal 2
15.  Denys Lombard : Nusa Jawa, Silang Budaya, Gramedia Pustaka Utama, 1996
16.  Sihasale (2003) dalam referensi sebuah artikel/jurnal/skripsi :  PAPALELE, Potret aktivitas komunitas pedagang kecil di Ambon, (tak diketahui penyusunnya)
17.  Ridwan Saidi : Kenangan imlek di masa lalu, http ://betawi.go.id
18.  Gavin Menzies : 142, Saat China menaklukan dunia
19.  http://kutikata.blogspot.com : Jejak China di Maluku, Artefak-artefak China, Kapitalisme di pedesaan, Ambtenaar dan pendatang
20.  http://pemprovdki.go.id : asal usul nama tempat di jakarta